Akibatnya, upaya perusahaan terfokus pada penanganan pekerjaan yang menjadi bisnis inti atau
core business. Sementara pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan inilah yang disebut
outsourcing.
Banyak buruh sebagai tenaga kontrak, yang direkrut melalui perusahaan pengerah tenaga kerja (
outsourced) yang banyak muncul di pusat-pusat industri. Ini terjadi karena bisnis ini sangat menguntungkan bagi perusahaan penyedia buruh kontrak.
Buruh hanya mendapatkan upah pokok sebesar upah minimum setempat tanpa tunjangan lain, sementara
outsourced mendapat untung karena potongan pendapatan buruh.
Ini sangat memprihatinkan, pasalnya mereka buruh
outsourcing melakukan pekerjaan yang persis sama dengan buruh tetap.
Kontrak kerja mereka umumnya pendek-pendek dari 1 hingga 6 bulan dan dapat diputus setiap saat. Kontrak kerja yang pendek menciptakan ketidakpastian kerja, apalagi peningkatan karir.
Buruh
outsourcing juga kehilangan kesempatan berserikat, karena baik secara terbuka maupun terselubung, perusahaan pengerah maupun pengguna tenaga buruh melarang mereka untuk berserikat dengan resiko kehilangan pekerjaan.
Adanya sistem kontrak dan
outsourcing ini membuat posisi tawar pekerja atau buruh semakin lemah karena tidak ada kepastian kerja, kepastian upah, jaminan sosial, jaminan kesehatan, pesangon jika di PHK, dan tunjangan-tunjangan kesejahteraan lain.
Kian sempitnya lapangan kerja membuat buruh tidak dihadapkan pada banyak pilihan, kecuali menerima kondisi yang ada.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pekerja alih daya berhak mendapat perlindungan kerja sesuai dengan Pasal 65 Ayat (4) dan Pasal 66 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian, baik perusahaan asal pekerja alih daya maupun perusahaan yang mengalihkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga wajib melindungi pekerja tanpa memperhatikan status pekerja tersebut.
Dengan demikian, putusan ini menghapus diskriminasi antara pekerja tetap dan pekerja alih daya pelaksana tugas sama persis dalam perusahaan yang memborongkan sebagian pekerjaan pada perusahaan penyedia jasa alih daya.
Tetapi sejak adanya putusan MK tentang
outsourcing masih banyak pemberi kerja atau perusahaan yang masih memberlakukan sistim Perjanjian Kerja Paruh Waktu (PKWT) yang banyak merugikan kaum pekerja atau buruh, dimana masih banyak buruh yang bekerja dengan sistim
outsourcing tidak mendapatkan
fair benefits and welfare.
Dengan adanya pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa, serta banyaknya buruh
outsourcing tidak dibayarkannya uang pesangon jika di PHK atau habis masa kerjanya
Serta masih banyaknya perusahaan melakukan eksploitasi terhadap pekerja atau buruh yang hanya untuk kepentingan keuntungan bisnis dan tidak memperhatikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak pekerja atau buruh untuk mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak, dan masih banyaknya peerusahanan yang melanggar hak-hak konstitusional para pekerja
outsourcing bukti bahwa buruknya pengawasan ketenaga kerjaan oleh Menakertrans Muhaimin Iskandar.
Hal diatas menunjukan bahwa sistem pengawasan yang dilakukan Kemenakertrans kepada pemberi kerja atau perusahaan sangat lemah. Kemenakertrans terkesan tidak peduli dengan penerapan sistim kerja
outsourcing yang tidak sesuai dengan pasal-pasal yang berhubungan dengan sistem kerja
outsourcing sudah dikabulkan oleh MK.
Terkait dengan hal di atas maka tidak ada jalan lain bagi para pekerja dan buruh baik yang menjadi pekerja tetap maupun pekerja kontrak untuk terus melakukan perjuangan dan perlawan terhadap rezim SBY dan pengusaha yang tidak berpihak kepada kesejahteraan Buruh. Pemerintahan SBY dan harus menghapus sistim kerja
outsourcing.
Penulis adalah Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu [***]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: