Ketika merebak kontroversi konferensi pers Donald Trump bersama Ketua DPR-RI, Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR-RI, Fadli Zon, muncul dua istilah atau diksi yang mungkin tepat menggambarkan event politik tersebut. Kedua istilah itu adalah
endorsement dan
photo-op (lengkapnya,
photo opportunity). Meskipun kita tergolong tidak, atau belum familiar dengan diksi endorsement maupun
photo-op, tetapi dalam prakteknya kebiasaan itu terhitung relatif sering dilakukan.
Kedua istilah itu menyimpan makna dukungan (political support) dengan tingkatan sendiri-sendiri. Kita selama ini bahkan telah terbiasa mengkonsumsi pengertian tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Photo-op misalnya tidak jauh berbeda dengan selfie (motret diri sendiri).
Istilah
endorsement dan
photo-op adalah diksi yang populer dimainkan di sekitar hiruk pikuk politik, pemerintahan dan
entertainment. Sebagai diksi politik, kedua istilah itu penting dicerna dengan cermat karena ikut menentukan seberapa kuat kita memiliki afiliasi dengan politisi atau ideologi politik tertentu.
Ketika kita meletakkan kedua istilah itu, baik
endorsement ataupun
photo-op dalam konteks kontroversi kehadiran Setya Novanto dan Fadli Zon dalam konferensi pers Donald Trump, maka tafsiran kita tidak akan jauh dari obyek yang dibicarakan. Kebetulan obyeknya adalah figur politik utama AS. Figur yang digandrungi publik AS dengan kontroversi yang berkembang di seputar dirinya, keluarga, dan habitat politiknya.
Sebaliknya, obyek lain yang mencoba
leaning (mendekat) kepada obyek utama ditafsirkan pasti ingin ikut mewarnai halaman pemberitaan media, baik di AS maupun Indonesia. Apalagi tokoh yang terlibat dalam konstruksi kedua istilah tersebut pasti ingin terlihat kalem (cool) dan
almost perfect dalam setiap spotlight media. Tetapi itu hanya tafsiran orang luar, publik dan konstituen.
Secara teoritis, ketika orang di luar habitat kekuasaan mendiskusikan penggunaan diktum-diktum politik, maka perspektif mereka sudah pasti hanya
black and white alias hitam putih. Berbeda dengan cara pandang para politisi itu sendiri yang tentu sangat sarat dengan banyak probability atau kemungkinan-kemungkinan
beneficial yang lebih diutamakan. Itu sebabnya,
endorsement ataupun
photo-op menjadi salah satu diksi yang paling sering dipakai dalam aktivitas politik sesuai level kemajuan demokrasi masing-masing.
Diktum
endorsement mengandung
sense of recognition yang diakui memang harus dimiliki seorang politisi ulung. Karena jika tidak demikian, nasibnya akan menjadi politisi numpang lewat. Pengakuan itu -entah diberikan oleh tokoh publik lainnya maupun media beroplah besar, dapat memberikan efek penting terhadap reputasi, kredibiltas maupun elektabilitas politisi bersangkutan.
Sebagai konsekuensinya, semakin banyak
endorsement yang diperoleh, semakin banyak pula orang atau pemilih yang ingin
photo-op bersama dengan politisi bersangkutan. Itu yang terjadi pada Donald Trump dan itu pula yang akan terus dikejar Donald Trump.
Lalu bagaimana dengan politisi dari negara entah berantah yang terlihat ujug-ujug terlibat dalam aktivitas politik Donald Trump?. Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab selain yang bersangkutan menjelaskan sendiri di hadapan publik motivasinya yang memang rada
awkward atau aneh. Sebab jika penjelasan itu dikembalikan kepada publik atau media di Indonesia yang menyaksikannya, kita akan memperoleh banyak penafsiran yang dapat dipastikan tidak semuanya nyaman didengar.
Publik dipastikan akan mengkritisinya berdasarkan tingkat kepentingan dan pemahaman masing-masing. Apalagi dunia politik, bukan dunia yang ramah. Oleh karena itu, sudah pada tempatnya jika para politisi selalu rasional dan matang dalam memutuskan sebuah sikap, manuver dan tindakan yang membawa implikasi-implikasi tertentu. Implikasi yang berpengaruh, baik terhadap kepentingannya sendiri, rakyat dan bangsa yang dipimpinnya serta konstituen yang diwakilinya.
Mereka mesti bijak memilah atau menyeleksi event yang pantas dan relevan dihadiri, Setiap manuver yang dilakukan pasti selalu dikaitkan dengan kepentingan politis yang mengitarinya. Tidak mudah mengabaikan kecenderungan bahwa politik selalu menjadi tujuan sehingga membuatnya menjadi
end justifies means. Oleh karena itu, kita memiliki kepentingan untuk membangun sistem politik yang baik. Sistem yang akan selalu memonitor setiap langkah dan keputusan yang dilakukan para politisi karena memang seperti itu seyogyanya prinsip
check and balance bekerja.
Idealnya, ranah politik adalah wilayah untuk mengembangkan prinsip-prinsip
governance. Sehingga kita semua dan mereka para politisi itu perlu waspada agar tujuan mulianya tidak keluar dari rel. Kalaupun kemudian dunia politik tidak seindah warna aslinya, maka mereka yang telah memberikan
endorsement atau menerima
endorsement jangan sesekali menyesali
photo-op-nya.
Sudah sewajarnya seorang politisi terlihat tegar atas setiap
misstep yang dilakukan. Setya Novanto dan Fadli Zon harus mampu terlihat
tough dibombardir kritisisme akibat photo-op bersama Trump, terlepas apakah
photo-op itu dapat bermakna
endorsement. Toh, publik kita juga belum cukup terbiasa atau familiar dengan istilah tersebut.
Hanya jangan salah, rakyat sangat pandai membaca gambar dan menafsirkannya secara liar. Lihatlah meme-meme lucu yang beredar di sosmed terkait insiden tersebut. Karena itu, ketika saya menyatakan kedua politisi itu mesti
tough menghadapi kritisisme tersebut, maksudnya adalah tegar dalam semua pengertian harfiahnya.
Jangan sedikit-sedikit,
whining dan menuduh yang macam-macam hingga somasi. Kena fitnah atau adu domba secara politis. Politisi ketika memasuki dunia politik mestinya sudah memahami
rule of engagement-nya. Harap dicatat, politik itu ibarat bisnis orang dewasa (adult bussiness). Bukan bisnis atau urusan anak-anak,
those who can't take the heat, stay away from it ! Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Saat ini sedang menetap di Jenewa. Bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.