Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Salim Kancil dan Amuk Kapital

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-takdir-5'>MUHAMMAD TAKDIR</a>
OLEH: MUHAMMAD TAKDIR
  • Rabu, 30 September 2015, 15:13 WIB
<i>Salim Kancil dan Amuk Kapital</i>
SEORANG aktivis anti-tambang pasir, Salim Kancil tewas mengenaskan di Lumajang, JawaTimur. Salim mati dibunuh secara keji oleh pelaku yang merasa aktivitas bisnis penambangannya terganggu. Salim Kancil bersama seorang kawan lainnya, Tosan seolah dua sosok jelata yang tak layak dibiarkan hidup menganggu kegiatan bisnis kapital yang sarat pungutan liar, korupsi dan kolusi. Tosan sendiri beruntung bisa survive meski mengalami luka berat.

Bagi kita, Salim Kancil adalah ironi kekuasaan yang tidak mampu menghentikan aktivitas penambangan pasir yang justeru merusak lingkungan hidup sekitarnya. Perlawanan Salim terasa sepi dan tak bergeming. Sebaliknya arogan si pelaku tambang yang tidak mengindahkan keharmonisan habitat manusia dan lingkungan, telah membuat seluruh tatanan hidup menjadi korup dan kriminal. Modal merupakan legitimasi yang berdiri kokoh di atas seluruh norma, sehingga setiap konsekuensi kongsi jahat seperti menghilangkan jiwa Salim Kancil berlalu sebagai smooth criminal.

Sisi lain dari perlawanan Salim terhadap tambang pasir adalah penolakan terhadap ekploitasi natural resources kita secara serampangan. Jika perlawanan Salim Kancil dibawa ke konteks lebih tinggi pada tataran global,amuk kapital di Lumajang punya relevansi dengan kecenderungan para pemburu modal untuk tidak menyerah pada resistensi publik dan negara yang mencoba melindungi sumber daya alamnya.  

Perhatikan sekitar 13 kasus sengketa baru yang muncul belakangan dalam konteks investor-state dispute settlement (ISDS) di tingkat global, ternyata dipicu oleh intervensi negara untuk memagari kepentingan lingkungannya. Kasus sengketa dengan korporasi kapital dunia itu merefleksikan kepentingan negara atau pemerintah di Ceko maupun Spanyol yang mencoba memberlakukan kebijakan renewable energy yang berpengaruh terhadap cara-cara beroperasi perusahaan asing di negara tersebut.

Realitas pahit seorang Salim Kancil sejak lama telah dipahami baik oleh publik dan mereka yang berkepentingan terhadap sustainability pembangunan. Itu sebabnya kita punya keberanian yang cukup untuk mengakhiri kesepakatan-kesepakatan investasi bilateral atau bilateral investment treaties (BITs) yang sebagian didasari oleh pertimbangan kepentingan publik di bidang kesehatan dan lingkungan.

Salim Kancil pasti tidak paham statistik perlawanan publik atau negara terhadap para pemilik modal yang terus mengerus kekayaan alam tanpa mengindahkan dampak kerusakan yang ditimbulkan. Tetapi kesadaran penolakannya terhadap aktivitas para pemburu modal yang menggali keuntungan di balik kerusakan alam merupakan bagian dari statistik keperdulian kita terhadap kesinambungan lingkungan. Statistik itu misalnya menunjukkan bahwa 60 dari 169 kasus (37,5%) sengketa ISDS yang dibawa ke hadapan ICSID (International Centre for Settlement of Investment Dispute) di Washington berhubungan dengan extractive industry atau investasi di sektor bahan galian mineral resources. Aktivitas di sektor perminyakan, pertambangan dan gas sebagian besar merupakan kegiatan industri yang implikasinya sangat rentan terhadap profil kesehatan publik dan ekosistem lingkungan.

Salim Kancil, Tosan dan aktivis-aktivis lingkungan lainnya adalah avenger kita. Mereka menjadi penolak bala pengrusakan lingkungan yang dipelopori oleh para kapitalis korporasi dan bandit-bandit kecil yang beroperasi di desa-desa terpencil seperti di Lumajang.

Salim Kancil bisa mati, tetapi semangat dan keperduliannya akan selalu abadi di hati dan benak kita semua.

Semoga Salim Kancil dapat berbaring tenang di alam sana, rumah yang lebih baik daripada rumah yang diperjuangkannya di bumi. Amien!

twitter @emteaedhir.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA