Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mati High Politics Ala Boechner

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-takdir-5'>MUHAMMAD TAKDIR</a>
OLEH: MUHAMMAD TAKDIR
  • Kamis, 08 Oktober 2015, 17:47 WIB
<i>Mati High Politics Ala Boechner</i>
PERDANA Menteri Inggris, Wiston Churchil (1875-1965), pernah berkata, Anda hanya boleh mati sekali dalam perang. Tetapi dalam politik, mati pun bisa berkali-kali.

Analogi itu mengibaratkan betapa politik begitu mudah mengubur karir dan masa depan seorang politisi. Saat bersamaan, politik juga dapat dengan sangat enteng mendongkrak nama seseorang secara meteorik. Saya dapat menyebut beberapa nama di antaranya; Chris Cristie, Ronald Reagan, Donald Trump, SBY, Jokowi, Anas Urbaningrum atau Obama

Ketika mendengar John Andrew Boechner, Ketua Parlemen AS atau biasa disapa sebagai Speaker of the House tiba-tiba mengundurkan diri, saya berpikir Boechner mungkin bukan mati dalam pengertian Churchil. Boechner tidak tepat "di-frame" dengan pengibaratan itu karena ia mundur dengan kesadaran politiknya sendiri. Dalam bahasa editorial The Washington Post, Boechner memilih minggir - menyisihkan dirinya sendiri (sideline himself) di tengah keramaian hiruk-pikuk politik AS.

Keputusan itu memperoleh banyak komentar beragam dari para analis yang mencerminkan terbelahnya persepsi politik dalam meletakkan langkah politik Boechner. Dana Milbank menyebutnya keputusan yang tak diiringi doa. Anna Telnaes menyayangkan Boechner yang meninggalkan kepemimpinannya di Kongres tanpa menerima bantuan kawan-kawannya dari Partai Republik. Jennifer Rubin malah menudingnya sebagai keputusan egoistik. Jonathan Capehart mungkin lebih dramatis menggambarkan pengunduran diri Boechner karena menganggap tokoh politik nomor tiga di AS itu meninggalkan parlemen dalam kondisi disorder.

Apapun latar belakang pengunduran dirinya, Boechner telah mengambil keputusan berani. Boechner bukan mundur akibat ransum politiknya sudah habis. Politisi gaek asal distrik pemilihan Ohio juga tidak sedang mencoba mundur untuk menjadi "comeback kid" atau melakukan "redemption". Sederhana saja, Boechner merasa tidak mampu mengendalikan gerbong konservatif yang didominasi oleh kelompok "tea party" ataupun "ultra-right wing" di Kongres AS. Alasan itu menjadi satu-satunya motif pengunduran diri yang bisa dirasionalisasi.

Nalar politik Boechner menanamkan bahwa dirinya tidak lagi punya efek. Boechner merasa demoralisasi ideologi Partai Republik telah membuat dirinya tidak relevan berada di garda terdepan konservatisme. Partai Republik di Kongres AS saat ini terjebak dalam preferensi ideologi yang lebih partisan, extremism, dan bahkan dalam banyak hal lebih rasial. Kecenderungan kaukus para GOPers (grand old party) - sebutan lain Partai Republik, semakin mengarah kepada sikap hostile terhadap process of governing yang kebetulan berada di bawah kepemimpinan Partai Demokrat.

Isu-isu besar seperti imigrasi, penganggaran, gun control, kesehatan, planned parenthood, reformasi perpajakan maupun agenda krusial lainnya sering berakhir tidak jelas di tangan bloc of Republicans. Boechner menyadari hal itu setidaknya telah berlangsung lama sepanjang era kepemimpinan Obama. Ketika diperhadapkan pada pilihan masa depan partai, konstituen, kepentingan publik AS atau kredit bagi lawan politiknya, Boechner memilih melepaskan stranglehold dirinya dari para ekstrimis politik di tubuh Partai Republik. Jika tidak, Boechner bisa kehabisan napas dan benar-benar mati dalam arti harfiahnya.

Bagi kaum idealis, Boechner setidaknya telah mendemonstrasikan etika politik tinggi ketika memutuskan mundur karena ketidakmampuan menjembatani tugas-tugas legislatif yang menjadi wewenangnya dengan kepentingan eksekutif pemerintahan (process of governing). Sebaliknya di mata kaum pragmatis, Boechner bukan saja mundur dan mati, tetapi juga telah mengorbankan dirinya sendiri untuk membiarkan secara leluasa kaum ekstrimis kanan mendominasi agenda GOP. Sampai di sini, mati atau mundur menjadi langkah sia-sia seperti patahan dedaunan yang jatuh dan membusuk di tanah.

Mundur atau mati dalam politik tidak berarti banyak jika kematian itu hanya menyuburkan para durjana menguasai secara eksploitatif sumber-sumber kepentingan publik. Tetapi mati untuk suatu kepentingan noble lebih besar yang diperjuangkan dan menunggu saatnya bangkit kembali untuk melawan adalah satu hal yang mesti punya bab tersendiri dalam narasi atau kultur politik kita.

Politisi kita harus belajar membiasakan dirinya mati dengan cara seperti ini, ketimbang ikut larut dalam mesin kejahatan terorganisir yang mengorbankan rakyat dan kelayakan hidup kita semua serta membuat kita semua ikut mati. [***]


Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Saat ini sedang menetap di Jenewa, bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA