Bagi mereka, subsidi untuk
agribusiness exporter dibenarkan oleh aturan "Aggregated Measurement of Support" (AMS) yang berhasil diamankan negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa di awal pembentukan WTO. Ketika negara-negara lain melakukan subsidi yang sama,
rule of the game telah terbentuk dan kebijakan subsidi versi ini lebih akan dipersangkakan sebagai praktek distorsi pasar.
Agenda perdagangan di bidang pertanian bagi banyak negara besar bukan soal ketahanan pangan (
food security). Bahkan sejumlah negara tertentu telah memblok wacana perlunya komunitas global membicarakan krisis
food security. Padahal kecenderungan untuk merumuskan solusi permanen isu ketahanan pangan dapat dimajukan dalam pembahasan KTM10 WTO di Nairobi, Desember 2015. Negara-negara maju tidak hanya menolak kebutuhan itu, tetapi juga mengingkari makna fleksibilitas perdagangan yang memungkinkan negara berkembang membangun kapasitas perdagangan mereka.
Subsidi negara-negara berkembang untuk mendukung prospek petani mereka ditujukan mengimbangi efek dari
rule of the game yang tidak adil dan berimbang serta terlanjur dibentuk negara-negara maju dalam WTO. Negara-negara maju leluasa melakukan itu karena
by rule, tidak ada yang dilanggar. Komitmen subsidi mereka difasilitasi oleh ketentuan AMS yang membuat langkah itu menjadi semacam komitmen subsidi yang legitimate dalam kerangka WTO. Respons yang bisa dilakukan negara-negara berkembang adalah menetralisir efeknya dengan mengkonsolidasikan
special safeguard mechanism untuk dapat membantu melindungi produksi pertanian mereka.
AS saja telah menolak membahas pemangkasan
trade-distorting domestic support dan subsidi ekspornya, tetapi pada saat bersamaan juga getol mendesak Indonesia untuk segera meratifikasi
trade facilitation. Bagaimana mereka bisa terlihat legitimate meneriakkan seruan agar negara-negara berkembang, termasuk India dan Tiongkok segera memangkas subsidi pertanian mereka. Padahal, masalah pangan pada sebagian besar negara-negara berkembang tidak serupa bentuk subsidi pertanian negara maju. Negara-negara itu meningkatkan subsidi mereka untuk membangun kepentingan petani miskin atau rakyat yang kelaparan, bukan
agribusiness exporters.
Jika WTO tidak mampu menginjeksi kesepakatan baru yang menopang kelangsungan ketahanan pangan atau
food security misalnya, maka negara-negara berkembang yang banyak menggantungkan dirinya di bidang pertanian, diperkirakan akan mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan riil pangan rakyatnya. Kecenderungan ini juga memiliki implikasi serius pada upaya mewujudkan seluruh tujuan-tujuan objektif SDGs yang telah diadopsi dalam SMU PBB ke-70 tahun ini.
Saatnya memaksa WTO menerima terobosan untuk memproses kebutuhan separoh masyarakat dunia terkait ketahanan pangan atau food security. Aspek pertanian yang menjadi salah satu inti Doha Development Agenda (DDA) tidak boleh dimatikan di Nairobi. Daripada mendiskusikan isu
investment, competition policy, government procurement, dan banyak kebijakan lainnya yang tidak berpihak pada kepentingan negara berkembang, WTO mesti mempromosikan penerimaan negara-negara maju terhadap DDA secara utuh dan bukan sebaliknya.
WTO bahkan harus menciptakan ruang yang memungkinan negara-negara berkembang memperoleh fleksibilitas ketentuan-ketentuan perdagangan yang lebih baik dan adil (
fair and justice). Seyogyanya, WTO pasca Nairobi adalah menjadi institusi yang dapat membantu mewujudkan lanskap transformasi perdagangan global yang berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
[***] Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Saat ini sedang menetap di Jenewa. Bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.