Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Trump-Ormasi Idiokrasi "American Politics"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-takdir-5'>MUHAMMAD TAKDIR</a>
OLEH: MUHAMMAD TAKDIR
  • Rabu, 09 Maret 2016, 06:41 WIB
Trump-Ormasi Idiokrasi "American Politics"
donald trump/net
SETELAH kemenangan penting Donald Trump dalam berbagai primary dan kaukus Partai Republik, baik sebelum dan sesudah super Tuesday maupun super Saturday, panggung politik di AS mulai harus serius menyikapi kemungkinan Trump menjadi nominasi calon Presiden GOP.

Trump tidak hanya menggoyahkan political establishment dalam arti harfiah dan balaqiah, tetapi juga menggiring persepsi politik tidak hanya menjadi milik orang waras.

Mereka yang bodoh, gila, pandir dan goblok mania punya legitimasi bertarung memperebutkan jabatan publik tertinggi sekalipun.

Saking dahsyatnya idiokrasi Trump, hingga seorang Paus Francis pun tergoda untuk mengomentari fenomena the Donald.

Pemimpin tertinggi Gereja Katolik di dunia itu sekali waktu menyebut Trump "is not Christian". Ini dikarenakan berbagai pernyataan bombastis Trump yang menyakiti perasaan kelompok minoritas, difable, kaum wanita, Muslim, Hispanic, dan lain-lain.

Sentimen itu disuarakan dalam panggung politik AS di bawah sorotan banyak media global yang membuatnya mudah "membakar" clash of civilization.

Trump yang berkoar membangun wall (tembok) di perbatasan Meksiko dan AS jika terpilih, bukan semata pernyataan enteng tentang cara mengatasi imigran pendatang di sebuah negara besar.

Tembok itu tak akan berbeda dengan Berlin Wall, apartheid atau tembok Gaza yang selama ini membelah kenistaan kolonialisme dan kemanusiaan yang tercabik pada diri ribuan penduduk Palestina.

Tembok Trump adalah cara pandang konservatisme atau exceptionalism Amerika yang melihat dirinya sebagai satu-satunya makhluk di muka bumi yang punya hak "mempersetankan" yang lain di luar dirinya.

Analogi tembok Trump dalam dunia politik merupakan demarkasi idiokrasi vis-a-vis kewarasan (consciousness) berdemokrasi.

Kita tidak memilih seorang pemimpin serta merta begitu saja pada saat musim politik (election season). Berdemokrasi itu memiliki martabat dan dibangun oleh ambisi untuk memperoleh kehidupan dunia yang lebih baik.

Akal sehat mesti terus berjalan mencerna janji-janji maupun platform politik yang dijajakan oleh para pencari kekuasaan seperti Trump.

Trump tidak mewakili segelintir ankaramurka, konflik, ego, self interest, narsis medan ketidakmampuan untuk menjembatani perbedaan maupun divisi kepentingan satu sama lain.

Habitat mereka banyak dan tersembunyi atau menyusup masuk ke dalam ruang-ruang pergumulan ide, konsep maupun visi bernegara. Dalam habitat kaum konservatisme Amerika, suara Trump ini yang dominan. Mengentalkan exceptionalism Amerika serupa dengan superioritasras Arya zaman kebangkitan Nazi Jerman.

Sejatinya, orang seperti Trump mensyukuri fortune Tuhan yang dititipkan kepadanya. Dalam ajaran keyakinan Trump, panggilan untuk berbagi adalah fondasi eksistensialisme. Berbagi dalam pengertian memberi respect terhadap eksistensi yang lain.

Itu sebabnya daripada membangun tembok atau mempertinggi barrier yang sudah ada, Trump atau siapapun yang mengagumi dan memilihnya mestinya menciptakan meja yang lebih panjang (untuk saling berbagi dan berbicara).

Bukan malah mempertinggi tembok yang semakin memisahkan dan membuat jarak antara akal sehat dan kekonyolan berdemokrasi (silliness).

Bukan Amerika seperti ini yang saya kenal!

Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Saat ini sedang menetap di Jenewa. Bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA