Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mencari "The Inglorious Bastard" Di Aleppo

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-takdir-5'>MUHAMMAD TAKDIR</a>
OLEH: MUHAMMAD TAKDIR
  • Kamis, 05 Mei 2016, 05:36 WIB
Mencari "The Inglorious Bastard" Di Aleppo
DALAM wawancaranya dengan Amanpour CNN (4/5), Menteri Pertahanan AS, Ashton Carter menuduh Rusia semakin memanasi perang sipil di Suriah dengan bombardemen brutal di Aleppo. Fakta bahwa jet-jet tempur Rusia yang terus meraung dari pangkalan udara Hmeymim di Latakia dan menggempur Kota Aleppo membenarkan ucapan Carter.

Sayangnya, Carter lupa bahwa ecstasy demokrasi yang dipaksakan Washington melalui Arab spring adalah yang pertama melukai Suriah. Pemberontakan anti-Assad di Kota Dharaa pada 11 Maret 2011 menjadi pintu campur tangan AS. Seperti yang mereka bayangkan bisa dilakukan di Libya, Washington yakin mampu membawa perubahan dan demokrasi di Suriah. Keyakinan konyol itu yang membuat Obama kemudian meniru doktrin George Bush, regime change! Bashar al-Assad harus turun.

Kenyataannya Assad tidak pernah bisa dijatuhkan. AS malah dibuat repot dengan ambisi regime change yang terlanjur disuarakan dan dijual ke mana-mana. Infiltrasi ISIS dan Rusia di Suriah ikut memperburuk situasi chaotic tersebut. Tak ada lagi demokrasi yang dibayangkan Washington. Krisis pengungsi dan kemanusiaan terus meluas. Hari demi hari, kita hanya menyaksikan korban berjatuhan dan reruntuhan gedung-gedung heritage di kota-kota bersejarah Suriah tanpa mampu berbuat sesuatu yang berarti.

Dalam kalkulasi militer yang error, Assad memilih melawan. Rusia mendadak masuk ke zona perang. Pemberontak oposisi yang terlanjur termakan mantra demokrasi yang ditiupkan Washington tidak pernah mampu menemukan cara melumpuhkan Assad. ISIS yang menjadi elemen terbaru dalam konflik itu malah membuat episentrum konflik bergeser, perang sipil yang aneh. AS pun menjadi "Captain America, Civil War".

Saya sebut aneh, karena konfrontasi ISIS dengan para pemberontak Suriah yang tersebar dalam berbagai faksi dan milisi lepas dari aksi militer yang menargetkan Assad. Seperti disebut Hassan Aboud, Kepala Biro Politik Islamic Front, salah satu milisi pemberontak Suriah, ISIS hanya menguntungkan rejim Assad. Pertempuran di Kota Aleppo dan Idlib adalah imbas pertikaian milisi-milisi dalam Free Syrian Army dengan ISIS. Konsekuensinya, bombardemen Rusia dan pasukan Pemerintah Assad jelas memudahkan untuk membidik target ganda. Melumpuhkan para pemberontak Suriah sekaligus mengisolasi gerakan eksplosif ISIS.

Ilusi demokrasi yang ditiupkan Washington telah dibayar mahal dengan nyawa ribuan warga Suriah. Aleppo, kota yang dahulu sangat indah dan bersejarah serta kota-kota lainnya di Suriah tinggal menjadi puing-puing menyakitkan bagi humanity. Bajingan dan para war lords yang mengais penderitaan penduduk Suriah di tengah kebengisan perang harus ditemukan.

Mereka adalah "the inglorious bastard" yang berambisi membangun draconian sharia (ISIS), mempertahankan rejim otoriter (Rusia dan Assad), memburu hegemoni regional (AS) dan dominasi Sunni (Arab Saudi dan Qatar) serta merebut kekuasaan (Free Syrian Army). Semua tidak sadar bahwa jika kesabaran bisa didahulukan, maka demokrasi mungkin tumbuh perlahan di Suriah.

Demokrasi tidak seketika jatuh dari langit ketika diminta, tetapi diperoleh dengan dignity dan kehormatan. Para bajingan perang itu tidak akan pernah bisa leluasa memporak-porandakan Suriah yang dalam prophecy disebut oleh Rasulullah SAW sebagai negara yang paling indah untuk didiami. [***]

Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Saat ini sedang menetap di Jenewa. Bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA