Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Fallujah: Hell To Heaven

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-takdir-5'>MUHAMMAD TAKDIR</a>
OLEH: MUHAMMAD TAKDIR
  • Kamis, 30 Juni 2016, 23:02 WIB
Fallujah: Hell To Heaven
PERDANA Menteri Irak, Haider al-Abadi menyatakan bahwa militer Irak telah berhasil sepenuhnya menguasai Kota Fallujah pada akhir Juni 2016.

Kota itu direbut kembali dari pemberontak Islamic State (IS) yang menguasai Fallujah sejak Mei 2014. Kontrol militer Irak di Fallujah sangat berarti karena membuka jalan bagi ofensif lebih lanjut di Mosul, kota terakhir yang berada di bawah kekuasaan IS dan menjadi semacam ibukota pemerintahan kelompok teror IS.

Fallujah adalah kota berpenduduk muslim Sunni yang terletak sekitar 65 km sebelah Barat Ibukota Baghdad. Kota ini menjadi basis dan command centre kelompok teror IS dalam mengkoordinasikan setiap suicide attack di Baghdad. Kelompok ekstremis Sunni telah menjadikan Fallujah laboratorium kekerasan yang menarasikan konflik sektarian di Irak dengan seluruh dimensi geo-strategis politik dan ekonomi negara tersebut.

Ketika operasi militer di Fallujah dibedah, kita akan melihat twisted facts konflik itu yang diperkirakan malah semakin mengentalkan pertikaian berkepanjangan di Irak. Pertama; militer Irak yang menguasai Fallujah ikut dibantu oleh milisi Syiah yang memungkinkan mereka kembali merebut kota itu. Kedua; pengepungan Fallujah juga tidak lepas dari dukungan koalisi AS yang turut menewaskan beberapa komandan IS di kota kecil Maher al-Bilawi, Ramadi dan Sitar, wilayah pinggiran Fallujah. Ketiga; setelah penaklukkan Fallujah, kelompok Kurdish Peshmergash bahu membahu dengan tentara Irak bersama dengan koalisi AS meningkatkan tekanan mereka terhadap IS di benteng terakhir wilayah pemberontak, Mosul yang juga merupakan kota terbesar kedua Irak setelah Baghdad.

Konstruksi elemen konflik yang terlibat dalam aksi militer terakhir di Fallujah menyimpan detonator yang siap meluluh-lantakkan Irak nantinya. Seperti kota-kota lainnya di Irak, Fallujah hanya kian menyempurnakan vicious circle kekerasan yang  ditinggalkan pasca penarikan besar-besaran pasukan AS dari Irak pada tahun 2011. Lingkar kekerasan di Irak tidak hanya menanamkan perebutan teritori sektarian, suku dan ideologi kelompok. Tetapi juga pertarungan pengaruh untuk menentukan corak dan warna Irak yang baru pasca Saddam Husein.

Untuk waktu cukup lama ke depan, pertikaian Syiah-Sunni tetap akan jadi warna utama kekerasan di Irak. Jatuhnya Fallujah membuat kelompok militan Sunni di kota itu melihat koalisi pelangi militer Irak, Syiah, AS dan Kurdish Peshmergash sebagai Octovus prime yang harus mereka taklukkan. Warga Sunni di Fallujah telah tumbuh menjadi gerakan anti-pemerintah sejak invasi AS ke Irak pada tahun 2003. Para militan Sunni Fallujah melihat pemerintahan Syiah Irak di Baghdad sebagai boneka AS dan agresi Washington menjadi alasan utama perlawanan militer dan kekerasan sektarian yang terjadi hingga saat ini.

Drama kekerasan yang tidak berujung, suicide attack yang berlangsung konstan serta civil war di Irak menjadi semacam medan perang suci (just war) bagi setiap kelompok, entah Syiah, Sunni, Kurdish maupun faksi-faksi kecil lainnya. Pada sisi lain, al-Qaeda dan IS hanyalah penumpang gelap (free rider) yang memanfaatkan situasi chaos negeri Aladin tersebut. Amerika mungkin pemicu, tetapi trigger itu meletus karena problem di Timur Tengah, termasuk Irak memang sangat rentan untuk setiap provokasi dalam berbagai skala dan front.

Fareed Zakaria, host GPS di CNN menulis bahwa problem utama yang dihadapi dunia saat ini bukan komunitas muslim melainkan Timur Tengah. Ketika Anda melihat kawasan ini, realitas yang disaksikan adalah sistem disfungsional yang kemudian dinilai orang sebagai wajah Islam saat ini (The Future of Freedom, 2004). Fareed secara sarkastis melukiskan wilayah ini sebagai daerah flag-burners, fiery mullahs dan suicide bombers. Tetapi ironisnya seperti ditulis Fareed, Amerika memerangi Afghanistan meski tak satupun orang Afghan yang terbukti terkait dengan serangan teroris di daratan Amerika. Afghanistan hanya sebuah campground peperangan tentara-tentara Arab versus Amerika.

T.E. Lawrence, petualang asal Inggris yang dikenal sebagai friend of Arabs dan populer diangkat dalam layar lebar Lawrence of Arabia” menyebut bahwa orang Arab itu punya kelemahan kepatuhan pada aturan tetapi sangat memuja belief system yang ditanamkan pada mereka dibandingkan komunitas lain di dunia. Jangan heran jika masing-masing kelompok akan saling berlomba mendogmakan bahwa setiap kekerasan yang mereka lakukan terhadap yang lain akan diganjar dengan puluhan bidadari di syurga. Kematian di kota-kota konflik di Irak adalah jalan menuju syurga meskipun untuk itu mereka harus melewati neraka yang ada di Fallujah misalnya.

Intelektual Arab era 1950-an, Ishaq Husseni boleh mengagumi pergeseran Islam dan Arab ketika itu yang dianggapnya mencontohi pemisahan church dan state di Barat. Hanya saja apa yang kini terjadi di kota-kota Irak yang terus dilanda pertumpahan darah seperti Fallujah, Ramadi, dan Mosul, bayangan Ishaq Husseni pasti terlalu berlebihan. Sesuatu telah terjadi antara tahun ketika optimisme seorang Ishaq Husseni merebak dengan kepahitan yang kini ditemukan dalam Arab spring.

Menurut Fareed Zakarea, jika kita ingin menyelami krisis kontemporer dunia Arab saat ini, maka kita perlu tahu dan paham peristiwa maupun sejarah Arab yang terjadi dalam 40 tahun terakhir ini, bukan 400 tahun yang silam. Untuk paham apa yang terjadi di Irak dan Fallujah, kita pun tidak perlu 40 tahun tetapi cukup 15 tahun ke belakang. Itulah yang mengubah Fallujah menjadi neraka seperti sekarang, walau itu juga masih banyak dianggap sebagai gerbang ke syurga oleh kelompok militan yang bertikai.      

Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik.  Bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA