Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Memupuk Empati Kolektif Peradaban

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/muhammad-takdir-5'>MUHAMMAD TAKDIR</a>
OLEH: MUHAMMAD TAKDIR
  • Rabu, 05 Juli 2017, 16:42 WIB
JEREMY Rifkin, penulis buku "The Emphatic Civilization: The Race to Global Consciousness in A World in Crisis" cukup provokatif dalam mengupas agresivitas manusia sebagai 'creative animal”. Sebagai takaran dalam menilai provokasi pemikiran agresivitas manusia yang rasional, maka relasi ras dan etnisitas dapat menjadi ukuran paling jernih.
 
Kesadaran global tentang hubungan tersebut banyak ditentukan oleh seberapa reguler interaksi dimaksud berlangsung. Seorang warga keturunan misalnya dengan warga Betawi di lingkungan kediaman yang sama tidak akan mudah menemukan empati yang diperlukan jika tidak terbangun kontak linear tentang eksistensi mereka satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari.
 
Kita cukup lelah menyaksikan bangunan komunal yang diciptakan sedemikian rupa tetapi gagal menuntaskan terbentuknya kesadaran progresif untuk menjaga ko-eksistensi perbedaan yang hidup di tengah komunitas bersama. Sebaliknya, sikap dan respons rasial yang berevolusi sesuai dengan kemajuan modernitas kerapkali lebih terkebelakang daripada simpul-simpul pembangunan fisik yang telah berhasil kita ciptakan. Pada kenyataannya, justeru kemampuan untuk memanipulasi impuls-impuls perbedaan naratif kehidupan majemuk yang terlihat semakin tumbuh subur ditopang oleh habitat media sosial yang sangat toxicated.
 
Rifkin dalam bukunya itu telah mengingatkan betapa evolusi kesadaran empati manusia yang berjalan lamban membantu kemungkinan kepunahan ras manusia di tengah meluasnya interpretasi baru terhadap sejarah peradaban manusia. Interpretasi baru itu adalah ego-sentrisme kelompok-kelompok komunal baru berdasarkan kekuasaan, pengetahuan, pemilikan, dll.
 
Pengelompokan seperti itu yang mendorong dominasi tertentu terhadap penguasaan naratif tentang siapa yang pluralis, anti-kebhinekaan, nasionalis, religius, teroris atau us versus them. Oleh karena itu, kita semua memiliki kontribusi menentukan masa depan empati kolektif yang akan memilah siapa yang masuk dalam kelompok kita dan siapa dikategorikan berada pada kelompok mereka.
 
Saat ini, masyarakat kita cenderung dikondisikan untuk menemukan dirinya pada level kemampuan merengkuh empati hanya berdasarkan kedekatan kultural dan geografis daripada kebutuhan universalitas nilai-nilai humanisme yang mungkin punya problematikanya sendiri-sendiri. Kita sepertinya perlu menata cara pandang lebih adaptif terhadap kelenturan untuk menerima perbedaan dengan cara menghadapinya secara langsung. Perbedaan tidak boleh dimatikan atau diseragamkan karena itu mengingkari kodrat kemanusiaan serta membuat empati in-group feeling mudah terbakar menjadi antipati.
 
Pantang untuk mengunci empati di sebuah kotak tersendiri karena itu hanya mempersempit ruang interaksi yang diperlukan dalam komunitas heterogen. Bahkan implikasi yang paling mungkin terjadi adalah munculnya sinisterisme dan phobiasme terhadap peran agama sebagai salah satu alternatif yang terbuka menyuarakan nilai-nilai empati global. Karena tak ada agama yang mengajarkan keburukan. Semua memburu kebajikan.
 
Setiap sisi kontras peradaban harus dihadapi juga secara beradab. Kita boleh menghadapi multiple crisis yang menguras empati sebagai homo sapiens, tetapi kesadaran kolektif tentang co-existence jangan sampai tertelan oleh akselerasi kekuatan global yang demikian cepat dan kompleks. Segala bentuk kesadaran rasional maupun faith-based orientation harus bersatu melawan penyempitan empati berdasarkan kelompok yang akan sangat poisonous bagi peradaban puncak manusia (adiluhung)
 
Kesadaran kolektif tersebut penting untuk menavigasi dunia yang mulai terlihat berada di luar kontrol dan jangkauan humanisme bersama. Konflik, pertikaian, hoax, dominasi penguasaan, infiltrasi, abusive democracy, dll telah menyingkirkan kebutuhan membangun pengujian-pengujian rasional terhadap seluruh model interaksi yang diperlukan dalam memelihara empati peradaban tersebut.
 
Anda tidak mungkin kredibel atau reliable berbicara tentang kebhinekaan jika pagar atau tembok kediaman Anda masih lebih tinggi dari tetangga sebelah. Anda tidak elok berteriak kebersamaan jika masih terpaku meninggikan supremasi kelompok masing-masing. Bahkan Anda tidak pantas mengklaim pro-NKRI jika Anda tidak dapat menjaga lidah dan perbuatan Anda sendiri yang nyinyir terhadap mereka yang gigih memperjuangkan prinsip itu hanya karena mereka tidak berasal dari firkah Anda.
 
Namun terlepas dari seluruh anomali itu, seperti dikhawatirkan Jeremy Rifkin, ketika empati kemanusiaan mulai bisa menapak jalannya akibat krisis demi krisis yang dihadapi, ras manusia telah menemukan dirinya di ujung kemusnahan. Artinya, jangan sampai kesadaran empati kolektif baru dapat tumbuh baik ketika kita justeru telah berada di ujung keambrukan. Bagi Jeremy Rifkin, kondisi itu memang terasa naas karena menurutnya manusia memang tidak akan menemukan kesadaran empati kolektifnya kalau tidak ada kematian. Istilahnya, sesal kemudian tak berguna! (twitter@eMtedir). [***]

Penulis adalah analis-kolumnis situasi internasional dan domestik. Bisa dihubungi pada akun Twitter @emteaedhir.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA