Meskipun secara umum masih dianggap cukup sehat, tetapi catatan Bank Indonesia telah mengingatkan perlunya kewaspadaan resikonya terhadap perekonomian nasional.
Kita tentu tidak mengharapkan setback pembiayaan pembangunan seperti situasi utang nasional yang tidak dapat diselesaikan pada dasawarsa 1990-an kembali menghantam Indonesia.
Ketika itu, utang swasta menjadi beban yang sangat besar dan memaksa pemerintah untuk mengambil alih. Tidak heran jika saat ini, BI memberikan perhatian lebih besar pada kondisi dan perkembangan utang luar negeri sektor swasta.
Selain pengalaman pahit pada krisis moneter 1990-an, komunitas internasional sebenarnya tidak memiliki mekanisme penyelesaian utang global yang layak disebut modest sesuai kepentingan negara berkembang.
Kekosongan itu membuat potensi terjadinya fragmentasi resolusi juridis dalam soal utang. Inkonsistensi dan
unpredictibility penanganan utang individual negara menjadikan masa depan
debt restructuring lebih sulit dan kompleks.
Bagi beberapa negara yang berada dalam situasi financial distress, pemberian kemudahan utang dimaksudkan mencegah mereka dari potensi default atau terjerat dalam situasi kritis yang memerlukan restrukturisasi utang.
Saat ini, para ahli banyak memperkirakan kemungkinan munculnya sejumlah
sovereign debt crises di masa mendatang sebagai akibat level utang yang dimiliki negara, kerapuhan pemulihan ekonomi global serta kebijakan moneter yang tidak menopang agresi pasar.
Alasan mengapa debt restructuring mechanism (DRM) diperlukan karena sistem yang berlaku saat ini �" disebut oleh Joseph Stiglitz sebagai fragmented system, telah menimbulkan predatory practices yang semata-mata menguntungkan kreditor dengan bargaining power mereka dalam menyelesaikan setiap krisis utang yang muncul.Kelemahan sistemik ini yang mendasari digulirkannya gagasan DRM di tingkat global.
PBB telah menyusun sebuah dokumen berjudul "The Roadmap and Guide for Sovereign Debt Workouts" yang merekomendasikan langkah-langkah perbaikan terhadap upaya mencitptakan koherensi, efisiensi, dan keadilan proses restrukturisasi sovereign debt saat ini. Lima prinsip utama DRM mulai diperkenalkan untuk didiskusikan yakni legitimasi,
impartiality, transparansi, good faith dan
sustainability. Sayangnya, usulan mekanisme itu nampaknya masih akan terganjal di tangan negara-negara maju. Padahal dunia memerlukan arbitrasi penyelesaian yang lebih independen. Saat ini, dunia harus menggerakkan langkah-langkah institusional dalam menyeimbangkan kembali sistem pengelolaan sovereign debt crises.
Kita sebaiknya belajar untuk tidak mengulang kekeliruan terdahulu kedua kalinya.
Those who can’t learn from their mistakes in the past, are condemned to repeat it (twitter: @eMtedir).
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: