Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indonesia Diminta Serius Lindungi Buruh Migran

Segera Disidang Oleh Komite CMW PBB

Senin, 04 September 2017, 10:46 WIB
Indonesia Diminta Serius Lindungi Buruh Migran
Foto/Net
rmol news logo Sebagai negara pihak Konvensi Pekerja Migran PBB sejak 2012, untuk pertama kalinya Indonesia akan dis­idang oleh Committee on Migrant Workers PBB pada 4-6 September 2017 di Jenewa, Swiss.
 
Pemerintah Indonesia te­lah menunaikan kewajibannya dengan mengirimkan laporan pertamanya (initial report) pada April tahun ini. Project Manager Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra menu­turkan, pihaknya sebagai pre­sidium advokasi internasional Jaringan Pekerja Migran (JBM), telah memfasilitasi dan ber­hasil menyusun laporan alter­natif yang telah dikirimkan ke Komite.

"Isi laporan alternatif tersebut di antaranya adalah mendor­ong Komite untuk merekomendasikan harmonisasi Konvensi Hak-hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya kepada pemerintah Indonesia di dalam revisi UU no. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Ke Luar Negeri," katanya.

Dalam draf terakhir revisi UU 30/2004, terkesan masih adanya monopoli atau dominasi peran PPTKIS dalam perekrutan pekerja migran. PPTKIS bebas melakukan rekrutmen dan tidak memiliki standar perekrutan di antaranya mencakup soal kurikulum, kemampuan dasar bagi calon pekerja migran, dan sebagainya.

"Hal ini mengakibatkan per­soalan beban biaya lebih atau overcharging yang ditanggung pekerja migran sementara, jika terjadi kasus terhadap pekerja migran, banyak sekali PPTKIS yang lepas tanggung jawab," sebutnya.

Sementara itu, laporan al­ternatif yang dibuat presidium advokasi JBM bersama jaringannya juga mengevaluasi tidak efektifnya bilateral agreement atau MoU dalam melindungi pekerja migran dari pelanggaran HAM. Di antaranya MoU den­gan Malaysia yang sudah habis masa berlakunya namun hingga saat ini pemerintah belum mem­perbaharuinya.

Sementara masih ada perekru­tan pekerja migran Indonesia ke Malaysia dan terakhir terjadi kasus 695 pekerja migran tidak berdokumen yang ditangkap awal Juli 2017 lalu. Selain itu, MoU dengan Arab Saudi juga minim mengadopsi konten per­lindungan dari Konvensi. Bukan merevisi, Indonesia justru men­geluarkan Kepmen No.260/2015 yang melarang pengiriman pekerja migran ke negara-negara Timur Tengah.

Laporan alternatif itu juga mendrong peran Komnas HAM sebagai lembaga negara un­tuk memastikan negara men­jalankan kewajibannya dalam perlindungan HAM. Hingga saat ini Komnas HAM tidak fokus menangani isu pekerja migran. Pelaporan dan penanganan kasus pekerja migran hanya bersifat kompilasi.

Pihaknya mendesak Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak. Sementara, pada saat yang bersamaan Indonesia juga belum memiliki UU yang men­gatur pekerja domestik atau PRT.

"Padahal, kasus pekerja mi­gran di luar negeri yang may­oritas terjadi terhadap PRT, khususnya perempuan. Hal ini, sejalan dengan ini rekomendasi UPR untuk segera meratifkasi Konvensi ILO 189," tandas Daniel.

Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Bobbi Anwar Maarif, menerangkan dalam Konvensi ILO 189 ada 27 hak buruh migran salah satunya hak atas kebebasan bagi setiap buruh migran dan anggota keluarganya untuk meninggalkan, masuk dan menetap di negara mana pun.

Namun pemenuhan hak terse­but sangat terbatas baik dalam UU PPTKILNdan draft revisinya. "Misalnya, penempatan buruh migran tidak melalui PJTKI/PPTKIS dianggap 'ile­gal.' Padahal ada mekanisme lain yang bisa dipilih buruh migran seperti mandiri dan penempatan melalui perjanjian antar negara," katanya.

Bobbi juga menyoroti soal MoU Indonesia dengan negara penempatan yang jumlahnya sangat sedikit dan tidak me­madai untuk melindungi buruh migran. Padahal, MoU itu harus ada di setiap negara penempa­tan sebagaimana mandat UU 39/2009. Namun praktiknya dari 60 negara penempatan hanya 12 negara yang sudah punya MoU dengan Indonesia. "Dari 12 negara itu sebagian MoU belum diperpanjang, tapi penempatan terus berjalan," imbuhnya.

Kemudian, masalah sengketa yang dialami buruh migran baik dengan PJTKI/PPTKIS atau majikan, mekanisme penyele­saian yang ada hanya tersedia di BNP2TKI pusat. Hal ini menyulitkan buruh migran yang ada di daerah karena harus bertandang ke Jakarta untuk melaporkan perselisihan yang menimpanya. Akibatnya, ban­yak perkara yang tidak dilapor­kan buruh migran.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA