Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jumlah Pasien Difteri Di RSPI Sulianti Meningkat

Bukan Hanya Di Jakarta

Senin, 18 Desember 2017, 12:21 WIB
Jumlah Pasien Difteri Di RSPI Sulianti Meningkat
Foto/Net
rmol news logo Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan wabah difteri di wilayah Ibukota sebagai kejadian luar biasa (KLB). Hingga Jumat pagi lalu, sudah 73 orang dirawat di Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara, akibat penyakit tersebut.

Pasien-pasien yang positif maupun terduga difteri, ditempatkan di ruang isolasi. Salah satunya, Ruang Isolasi Mawar 1. Ruang Mawar 1 berada di lantai satu rumah sakit tersebut.

Ada lebih dari 15 kamar di dalam ruangan tersebut. Hari itu, tak tampak aktivitas berarti di tiap bangsal, terutama dari keluarga pasien. Tiap-tiap pintu bangsal tertutup. Sedangkan beberapa petugas medis keluar masuk dari pintu khusus petugas yang berada di samping ruangan.

Di sisi lain, Haris, warga Sunter, duduk di lorong RSPI. Sesekali pria tersebut berjalan hilir mudik di lorong RS sambil menenteng telepon genggam miliknya. Beberapa kali dia menjawab panggilan telepon.

Di RS itu, Haris menunggui anaknya yang masih berusia empat tahun. Awal pekan ini, anaknya dibawa ke RSPI Sulianti Saroso karena diduga menderita difteri. Gejalanya bahkan sudah ditunjukkan beberapa hari sebe­lum dibawa ke sana.

"Bahkan sudah mulai menun­jukkan gejala panas waktu di kampung, Purbalingga. Saya hari Kamis pulang kampung du­lu, anaknya sudah panas. Dikira hanya demam biasa atau radang tenggorokan," ucap Haris.

Karena gejala-gejala tersebut, dia kemudian membawa anaknya ke klinik terdekat. Selama dua hari perawatan di sana dan minum obat, kesehatan anaknya tak kunjung membaik. Dia kemudian mem­bawa anaknya ke RS Hermina Kemayoran, Jakarta Pusat.

"Malam-malam saya ke sana, jam 11. Dari sana, dokter men­yarankan langsung untuk dibawa ke RSPI Sulianti Saroso karena diduga terkena difteri. Makanya, dari pagi saya sudah di sini. Ini ada keluarga yang mau datang jenguk," terangnya.

Masih di lorong yang sama, Robi, warga Cakung, Jakarta Timur, tengah menjaga sang adik yang berusia sembilan tahun. Sejak Sabtu, pekan lalu, adiknya menjadi salah satu pasien yang diduga terjangkit difteri.

"Tanda-tandanya seperti radang.Keluarga bawa ke klinik, tapi tidak sembuh. Kami larikan ke RSUD Kramat Jati, baru dirujuk ke RSPI. Saya baru tahu semua pasien malah ke sini," ucap Robi.

Keluarga kemudian dida­tangi pihak puskesmas untuk diperiksa. Selain adiknya, di wilayahnya tidak ada yang terkena tanda-tanda penyakit ini.

Robi dan Haris mengaku mengikuti imunisasi seperti yang dianjurkan pemerintah. Mereka rutin memberikan imunisasi. Namun, mereka mengaku belummemberikan imunisasi DPT ke­pada anak maupun adik mereka.

Mereka pun bersyukur, biaya perawatan dan pengobatan di­tanggung pemerintah. "Saya dengar biayanya lebih dari Rp 10 juta. Kalau tidak di­tanggung pemerintah, bakal bingung. Ini saja saya tidak kerjakarena mengurus anak, semoga lekas sembuh," ucap Haris.

Sementara, Teddy, warga Jakarta Barat, yang anaknya dirawat karena diduga menderita difteri, mengeluhkan pelayanan RStersebut. Kata dia, hingga Jumat siang, anaknya masih belum mendapatkan penanganan dari pihak RSPI.

"Kamis malam (14/12), anak saya dirujuk dari Ciputra Hospital ke RSPI Sulianti Saroso karena diduga mengidap penyakit dif­teri. Dari malam sampai siang ini, masih belum ditangani. Masih nunggu dokter," ucap Teddy.

Menanggapi keluhan dari pasien terduga difteri yang belum mendapatkan penanganandari dokter, pihak RSPI Sulianti Saroso mengatakan akan mem­berikan pelayanan sebaik mung­kin kepada pasien.

Diharapkan, pasien dan kelu­arganya sabar menunggu giliran pemeriksaan karena untuk kasus seperti difteri, penanganannya membutuhkan waktu dan kete­litian yang lebih.

"Kami telah mengerahkan dokter anak, dokter THT dan dok­ter penyakit dalam. Pasien kanbanyak, jadi harus sabar nunggu giliran. Kondisi sepertiini, dokter memeriksa harus lebih teliti," kata Dyani Kusumowardhani, Direktur Medik dan Keperawatan RSPI Sulianti Saroso.

Sedangkan untuk ketersediaan anti diftery serum (ADS) yang akan diberikan kepada pasien pengidap difteri, kata dia, RSPI Sulianti Saroso masih memiliki stok yang cukup.

"Karena kami rumah sakit rujukan penyakit infeksi, makakami dapat dropping dari Kementerian kesehatan dan tidak semua rumah sakit punya ADS. Stok ADS-nya cukup," jelasnya.

Dyani menambahkan, RSPI Sulianti Saroso menerima semua pasien yang suspect difteri dan kalau terbukti mengidap akan diberikan ADS. Jika kondisi pasien sudah stabil, membran sudah tidak ada, kemungkinan penularan juga sudah tidak ada atau tinggal pemulihan, maka RSPI Sulianti Saroso akan meru­juk kembali ke rumah sakit yang mengirim pasien.

Terkait 73 pasien terduga dif­teri yang dirawat, menurutnya, dari jumlah tersebut, mayoritas pasien yang terjangkit adalah anak-anak.

"Total pasien difteri sampai dengan hari ini adalah 73 pasien. Dewasa 25 dan anak-anak 48. Pasien laki-laki berjumlah 41 dan sisanya 32 pasien ada­lah perempuan," kata Dyani Kusumowardhani, Direktur Medik dan Keperawatan RSPI Sulianti Saroso.

Kata dia, jumlah pasien pengidap difteri yang dirawat di RSPI Sulianti Saroso lebih tinggi dari hari sebelumnya. "Kalau kemarin (Kamis) 57 pasien dan sekarang sampai denganpukul 10 pagi terdapat 73 pasien pengidap difteri. Artinya ada peningkatan sebanyak 16 pasien," ucapnya.

Lebih lanjut, dari 73 orang pasien difteri yang dirawat di RSPI Sulianti Saroso, sebagian besar berasal dari Jakarta dan sisanya berasal dari Tangerang, Depok, Bekasi dan Bogor. Sebanyak 29 pasien dari DKI, 21 pasien dari Tangerang dan sisanya berasal dari Depok, Bekasi dan Bogor.

Latar Belakang
Biaya Perawatan Ditanggung Pemerintah Pusat Dan Daerah

 Untuk kebutuhan ruangan isolasi di RSPI Sulianti Saroso, Direktur Utama RSPI Rita Rogayah mengatakan, rumah sakitnya siap menambah kamar baru jika jumlah pasien meningkat.

"Kami memiliki satu bangsal dengan 12 tempat tidur. Tapi, dengan adanya peningkatan kasus, maka kami menggunakan satu bangsal lagi dengan jumlah tempat tidur 10," ujar Rita.

Jika kemudian kasus bertam­bah lagi, maka pihaknya tetap siap membuka lagi satu bangsal. "Kami masih akan menambah lagi bangsal jika ada peningka­tan pasien. Sampai saat ini kami mengikuti perkembangan, jika bertambah kami akan menam­bah lagi ruangan," terangnya.

Sementara untuk biayapengobatan, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Kesehatan (Kemkes) memastikan masyarakat yang terkena penyakit virus difteri, seluruh biaya pengobatannya ditanggung negaramelalui RSUD dan Dinas Kesehatan setempat.

"Untuk anti difteria serum, ini kita sampai sekarang masih impor. Biaya sebuah serum itu bisa sekitar Rp 4 juta, misalkan perawatan satu orang suspek dif­teri bisa mengeluarkan biaya Rp 10 juta," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Moeloek.

Kata dia, jika sudah disebut se­bagai kejadian luar biasa (KLB), maka tidak bisa ditanggung oleh BPJS Kesehatan. "Biaya akan ditanggung Rumah Sakit Umum Daerah melalui Pemerintah Daerah dan Kemenkes," terangnya.

Menurut Menkes, stok vak­sin penanganan difteri saat ini cukup, dengan pengadaan 3,5 juta vaksin selama periode 2017. Dia pun telah meminta produsen meningkatkan dan mempercepat produksi vaksin.

"Pada 2018, kita minta Biofarma meningkatkan dan mem­percepat produksi vaksin. Saat ini untuk pencegahan lakukan dengan outbreak respons immunization (ORI) di sejumlah sekolah yang ada di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan se­jumlah daerah yang terdeteksi difteri," jelasnya

Pelaksanaan ORI itu jangka waktu dibagi menjadi 3 tahap, yakni Desember 2017, Januari 2018, Mei 2018. Total biaya untuk penyediaan vaksinasi selama ta­hun 2017 sebesar Rp 1,6 triliun.

"Bagi orangtua yang masih anti vaksin (tidak mau di imunisasi karena berbagai faktor dan ala­san), dirinya meminta kesadaran demi keselamatan anak dan kelu­arganya. Kalau yang dewasa tidak mau divaksin, yakalau meninggal artinya itu konsekuensi dari pili­han medisnya," tutur Nila.

Vaksinasi difteri disebutkannya,gratis untuk masyarakat dan ditanggung penuh pemerintah yang membayar beserta tenaga kesehatan yang harus dipekerjakan.

"Kebanyakan anak-anak yang terinfeksi difteri adalah yang an­tibodinya rendah karena belum melakukan imunisasi dengan berbagai ketakutan dan sebab alasan. Padahal normalnya, diberikan vaksinasi dari usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 18 bulan, serta selama bulan imunisasi sekolah di kelas I, Kelas II, Kelas V," tegas Nila.

Di sisi lain, dari hasil kunjungan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke pasien difteri anak-anak di RSPI Sulianti Saroso, ditemukan 15 di antaranya sebenarnya mendapat imunisasi lengkap. Komisioner KPAI Bidang Kesehatan Sitti Hikmawatty menjelaskan, pu­luhan anak sebelumnya sudah mendapatkan imunisasi lengkap.

"Nah yang menarik adalah, ketika kami coba telusuri tentang riwayat imunisasinya, ternyata dari 17 pasien, itu dua orang yang tidak lengkap imunisasi dan yang 15 orang itu lengkap imunisasinya," katanya.

Menurutnya, hal itu akan jadi bahan kajian dan evaluasi KPAI. "Mengapa justru pada pasien-pasien yang mendapat imunisasi lengkap masih terdapat kasus ini. Itu salah satu yang titik poin yang akan kita coba telusuri kembali. Karena di situ banyak hal yang berperan, mulai distri­busi dan lain-lain, itu akan jadi PR yang perlu kita kembang­kan," ujar Sitti. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA