Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENGAH

Cagub Jabar TB Hasanuddin, Kolonel Yang “Menjinakkan” Jenderal Prabowo

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Senin, 08 Januari 2018, 07:23 WIB
Cagub Jabar TB Hasanuddin, Kolonel Yang “Menjinakkan” Jenderal Prabowo
TB Hasanuddin/Net
SISI menarik dari Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pilgub Jabar), sebetulnya bukan terletak pada soal “dukung-cabut” terhadap pencalonan Ridwan Kamil, Walikota Bandung oleh Partai Golkar.

Ataupun perjuangan Ridwan Kamil yang cukup berliku hingga akhirnya bisa ikut dalam kontestasi.

Hal menarik di Pilgub Jabar, juga bukan berada pada soal Deddy Mizwar, yang bercerai dengan PKS. Bintang iklan terkenal dan aktor layar lebar yang sangat berbakat ini, sudah sepuluh tahun (2008 - 2018) atau dua periode menduduki kursi Wagub Jabar. Dan itu tak lain berkat dukungan politik dan jasa baik PKS.

Tapi di ujung karirnya sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat, Mizwar - PKS bercerai.
Perceraian Mizwar-PKS terjadi, sebab aktor senior ini nampaknya mencium  keinginannya untuk menjadi gubernur Jabar, Orang Nomor Satu di kalangan masyarakat Sunda, sepertinya tak akan mendapat dukungan dari partai Islam tersebut.

Nah yang paling menarik sekaligus cukup mengejutkan, sebetulnya terletak pada persaingan dua eks tentara atawa eks anggota militer. Mereka, Jenderal yang didukung oleh “Partai Reunian” - Gerindra, PKS dan PAN melawan Jenderal dukungan “Partai Pemerintah” - PDIP.

Menarik, sebab kedua bekas tentara ini merupakan produk Orde Baru dengan pangkat terakhir Jenderal dua bintang (Mayjen - Mayor Jenderal).

Yang satu sudah terjun di dunia usaha sementara yang lainnya, berkarir di Parlemen Senayan.

Tentu saja sewaktu masih di era Orde Baru (1966 - 1998) zaman yang juga sering disebut era Militer-Totaliter, keduanya baru berpangkat non-bintang, Kolonel ke bawah. Kalau tidak terjadi perubahan era, boleh jadi kedua jenderal ini, tidak bersaing secara terbuka seperti saat ini.

Dua eks militer dimaksud adalah Mayjen (Purn) Sudrajat dan Mayen (Purn) TB Hasanuddin.

Mengejutkan, sebab nama Sudrajat sebelumnya tak pernah disebut-sebut dalam bursa kandidat “Partai Reunian”. Sama halnya dengan TB Hasanuddin.

Walaupun dia menduduki jabatan Ketua DPD PDIP Jawa Barat, namanya juga nyaris tidak pernah disebut-sebut di bursa Cagub Jabar.

Namanya baru muncul 7 Januari 2018, sehari menjelang penutupan pendaftaran peserta Pilkada serentak 2018.

Padahal selain menjabat Ketua DPD PDIP Jabar, TB Hasanuddin pernah menjabat Sekretaris Militer Presiden, di era Presiden Megawati (2001 - 2004).

Jadi Pak TB atau Kang TB sejatinya merupakan salah seorang kepercayaan Ketum PDIP.

Menarik dan mengejutkan, sebab penentu terakhir atas siapa yang dimajukan ke kontestasi Pilgub Jabar, juga oleh orang yang sama.

Kedua penentunya adalah Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri.

Jenderal Sudrajat ditentukan oleh Prabowo Subianto sebagai Ketum Partai Gerindra dan Jenderal TB Hasanuddin oleh Megawati Sukarnoputri selaku Ketum PDIP.

Dan kalau saja Pilgub Jabar hanya diikuti oleh dua kandidat, maka Pilgub 2018 ini merupakan pengulangan Pilgub 2017 DKI. Di mana Prabowo dan Megawati kembali berhadap-hadapan.

Andaikan kita boleh berandai-andai dengan melupakan sejenak persaingan kandidat-kandidat lainnya, pertarungan antara Sudrajat dan TB Hasanuddin, tidak hanya menarik dan mengejutkan. Tapi juga memiliki kekhasannya.

Untuk berlaga, Sudrajat harus didukung oleh tiga partai yang berkoalisi.

Sementara TB Hasanuddin cukup oleh satu partai.

Kalau jumlah partai pendukung masing-masing yang dijadikan ukuran, belum apa-apa sudah muncul pertanyaan atau reaksi. Lha kok Sudrajat sebagai bekas tentara tapi beraninya cuma ‘mengeroyok’ Hasanuddin ?

Atau , lha, ‘sombong’ banget si Hasanuddin, cuma sendirian koq tapi mau melawan Sudrajat dengan hanya mengandalkan seorang wanita, Ketua Umum PDIP ?

Padahal Sudrajat maupun Hasanuddin sama-sama tidak bermaksud demikian.

Situasi politiklah yang memaksa mereka berdua memilih sikap seperti itu.

Gerindra sebagai pendukung Sudrajat harus berkoalisi. Karena jumlah kursinya di DPRD Jawa Baat tidak sampai mencapai 20 kursi, jumlah minimum yang disyaratkan UU bagi partai politik yang mengajukan kandidatnya.

Berbeda dengan PDIP dan TB Hasanuddin. Di DPRD Jawa Barat, hanya PDIP, satu-satunya partai yang memiliki 20 kursi (suara). Dengan jumlah tersebut, PDIP bisa secara sendirian mengajukan kandidatnya, tanpa harus berkoalisi. Itu sebabnya PDIP bisa mengandengan Jenderal Polisi Anton Charliyan, mantan Kapolda Jawa Barat.

Pilgub Jabar patut disebut sebagai kontestasi politik antar jenderal yang sangat strategis, terutama bila dikaitkan dengan Pilpres 2019. Sebab partai yang berhasil memenangkan kandidatnya di Pilgub Jabar digadang-gadang berpeluang besar memenangi Pilpres 2019.

Di Jabar ini pula Jenderal TNI dan Jenderal Polisi untuk pertama kalinya bersatu sebagai Cagub dan Cawagub

Pilgub Jabar sebetulnya lebih cocok disebut menghadirkan sebuah perubahan dan konstelasi.

Pemicunya adalah Era Reformasi ( 1998 - saat ini), kehadiran generasi IT (information Techonogy) dan DT (Digital Information).

Reformasi melahirkan generasi yang melihat informasi, sebagai sebuah kebutuhan pokok bagi kehidupan bermasyarakat. Hanya orang-orang yang “kenyang” informasi yang bisa bersaing di ladang apapun.

Reformasi dan informasi juga telah merubah adigium.

Anggapan yang menyatakan bahwa tentara, militer sampai kapanpun, tetap prajurit dan milik semua rakyat, tidak berlaku lagi. Mereka tetap bersatu karena jiwa dan semangat mereka dipersatukan oleh sumpah sapta marga.

Namun bersaingnya Sudrajat dan TB Hasanuddin - yang sama-sama pernah berikrar Sapta Marga, kini membuktikan bantahan itu. Sapta Marga sepertinya sudah tinggal cerita kenangan.

Kedua jenderal secara terbuka dan demokratis bersaing di Pilgub 2018 Jabar.

Perubahan yang terjadi pun menyentuh nilai-nilai yang menyangkut masalah kehidupan yang lebih mapan dan nyaman.

Tidak ada manusia yang tak ingin hidup mapan dan nyaman. Dan kemapanan serta kenyamanan itu, tidak lepas dari beradanya kekuasaan dan ikutannya di dalam genggaman. Yang dimaksud ikutan adalah uang dan fasilitas.

Tak peduli dia pensiunan jenderal ataupun sipil - siapapun dia, siapapun mereka, dia dan mereka, tetap juga sama halnya dengan manusia biasa yang sama-sama 'haus dan dahaga'.

Sebagai pensiunan jenderal, Sudrajat dann TB Hasanuddin, terbilang sosok-sosok yang sama-sama sudah mapan dan hidup nyaman.

Sudrajat, kalau tidak salah setelah jeda beberapa tahun sebagai diplomat, jabatan terakhirnya adalah dubes RI untuk RRT.

Kehidupan seorang Dubes, tentu saja mapan dan nyaman. Ditambah pensiunan sebagai seorang perwira tinggi militer.

Sudrajat, kalau tidak salah dengar, saat ini juga menjadi CEO dari perusahaan penerbangan “Susi Air”. Perusahaan penerbangan ini disebut-sebut milik pengusaha wanita Susi Pujiastuti. Pengusaha ini sejak Oktober 2014 dipercaya Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan. Sebagai CEO dari sebuah perusahaan yang sukses, pasti kehidupannya pun tetap mapan dan nyaman.

Sedangkan TB Hasanuddin, saat ini merangkap dua jabatan politik. Yaitu Wakil Ketua Komisi I DPR-RI dan Ketua DPD PDIP Jawa Barat. Artinya di provinsi Jawa Barat ini, Kang TB, demikian sejumlah teman-temannya akrab memanggilnya, merupakan orang kepercayaan Ketum PDI Megawati Soekarnoputri untuk menjaga konsituten PDIP berikut menaikkan martabat partai.

Kemapanan dan kenyamanan hidup ini menjadi bagian penting dibahas dalam persaingan memperebutkan kursi Gubernur Jawa Barat.

Karena yang kita harapkan, kalau sudah terpilih, sebagai orang yang sudah hidup mapan dan nyaman, sang Gubernur tidak lagi berpikir apa yang akan “mau dimakan besok”.

Kemapanan Jenderal TB Hasanuddin, boleh jadi tak kalah jauh dengan Jenderal Sudrajat.

"Saya mungkin satu-satunya jenderal yang tidak malu memperlihatkan semua harta kekayaan saya," ujar TB Hasanuddin dua tahun lalu di kediamannya, di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.

Di rumahnya yang asri, yang dikelilingi kolam yang penuh ikan pilihan, TB Hasanuddin yang sejak Pemilu 2009 menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP, menceritakan pengalaman sekaligus kemapanannya.

Selama lima tahun menjadi ajudan Wapres Try Soetrisno, setiap bulan ia 'menerima gaji' lebih dari 30 kali. Angka lebih dari 30, merupakan jumlahan dari semua menteri di Kabinet Soeharto - Try Soetrisno.

"Saya tidak pernah minta. Tetapi semua anggota kabinet memaksa saya menerima uang bulanan dari mereka," ujarnya polos.

Kejadian itu berlangsung 60 bulan, tanpa jeda. 60 x 30 = 1.800 bulan gaji.

Sebagai ajudan wapres, para menteri berharap, kalau ada kebutuhan mereka untuk berbicara dengan presiden, mereka bisa minta bantuan lewat antar ajudan.

Selain gaji, tak jarang TB Hasanuddin mendapatkan hadiah berbentuk non-tunai. Kavling tanah, mobil atau apalah bentuknya.

Pada waktu itu belum ada KPK. Sehingga semua pemberian tersebut tidak bisa dianggap sebagai 'gratifikasi' apalagi korupsi.

Hanya di era Habibie, baik ketika Habibie sebagai Wapres (Maret �" Mei 1998) maupun ketika Mei 1998 - Oktober 1999, sebagai presiden semuanya berubah.

Hasanuddin mengaku dari Presiden Habibie, ia masih sempat diberi sedan mewah merek papan atas sebagai kendaraan pribadi. Dan yang memberinya pun bukan Presiden Habibie secara langsung. Tapi adik Junus Habibie, mantan Kepala Otorita Batam, Dubes RI untuk Belanda dan Inggris. Kini sudah almarhum

Tidak lagi adanya hadiah-hadiah atau 'gaji buta' seperti itu, bisa dimaklumi. Selain situasi politik sudah berubah. Keadaan perekonomian masyarakat Indonesia pada era BJ Habibie, terguncang oleh krisis moneter dan krisis multi dimensi.

Sementara TB Hasanuddin sendiri merasa sudah cukup mapan. Ibarat ungkapan- kalau hanya untuk makan untuk tiga sekali hari, tak akan pernah habis.

Maka dia pun rela berbagi secara ikhlas, seperti membantu mereka yang memerlukan bantuan.

Bagi Hasanuddin, berbagi secara ikhlas itu merupakan bagian dari kesadarannya atas sebuah kemapanan. Dan keinginannya menjadi Menteri Pertahanan ataupun Gubernur, tak lepas dari obsesinya untuk berbagi sewaktu mengabdi.

Kendati penerimaan 'gaji buta' tidak lagi berlanjut, TB Hasanuddin pun tetap merasa bersyukur. Sebab situasi baru yang dihadapinya masih tetap cukup menarik.

Saat itu 1998 - 1999, dia merupakan salah seorang saksi langsung berbagai episode penting sejarah Indonesia.

Karena di era Habibie itulah antara lain terjadi pertarungan antar kekuatan dan kelompok di antara TNI Angkatan Darat.

TB Hasanuddin cukup paham tingkat ketegangan politik yang tercipta 20 tahun lalu itu, saat Wiranto dan Prabowo dalam 'posisi berseberangan'. Padahal nota bene, keduanya saat itu digadang-gadang dekat dengan Cendana.

Sebagai seorang prajurit yang ditugaskan menjadi ajudan dari seorang Presiden sipil, sekaliber BJ Habibie, diapun tak bisa berperan terbatas dan hanya sebagai ajudan. Harus punya insting dan kepekaan. Tak boleh hanya sebatas apa yang menjadi Protap.

Sebagai ajudan Presiden, Hasanuddin cukup banyak tahu apa yang terjadi di balik latar belakang munculnya referendum Timor Tmur yang kemudian menyebabkan provinsi ke-27 RI pada waktu itu lepas dari NKRI.

Namun episode yang paling menyita energi dan adrenalin, ketika Hasanuddin harus 'menjinakkan' Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto.

Prabowo yang datang menemui Presiden Habibie di Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan pada 22 Mei 1998 secara tiba-tiba.

Hasanuddin-lah yang memberi tahu Habibie bahwa secara prosedural seorang Pangkostrad, tidak bisa langsung bertemu dengan Presiden. Melainkan harus lewat Panglima TNI (Pangab). Hirarki Pangkostrad, tidak setara dengan Presiden.

Prabowo ingin menemui Presiden Habibie, sekalipun tanpa perjanjian. Prabowo yang sudah masuk ke kompleks Istana dengan baju seragam tempur berikut pistol di pinggangnya, 'memaksa' anggota Paspampres untuk langsung bisa bertemu dengan Presiden Habibie di lantai IV Wisma Negara.

"Saya yakinkan Presiden Habibie untuk tetap menerima Jenderal Prabowo. Walaupun ajudan khusus Jenderal Sintong Panjaitan, katanya tidak setuju. Pertemuan akhirnya terjadi," ungkap TB Hasanuddin kepada saya lebih dari dua tahun lalu, dalam rangka testimoninya dalam bentuk buku di seputar Mei 1998.

Sebelum masuk lift, Hasanuddin minta menyerahan pistol dan ikat pinggangnya.

"Itu prosedur jenderal," ujar Kolonel Hasanuddin kepada Jenderal Prabowo.

Detil ceritanya lumayan panjang dalam buku berdasarkan wawancara saya, cukup panjang.

Judul sementaranya 'Intrik & Manuver Di Sekitar Istana'. Gramedia sebagai Penerbit, sudah siap menerbitkan buku tersebut.

Tapi dengan alasan naskah itu perlu dibaca sekali lagi oleh TB Hasanuddin, dan hingga kini tidak pernah terjadi, buku itupun untuk sementara hanya tersimpan dalam bentuk 'dummy'.

Itu sebabnya, saya pun cukup senang melihat 'pertemuan' Prabowo dan Hasanuddin atau para jenderal di Pilgub Jawa Barat kali ini.

Mereka semua merupakan jenderal-jenderal yang sudah mapan sebetulnya. Tapi masih tetap dengan ambisi tersisa.[***]


Penulis merupakan Wartawan Senior 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA