WALHI menilai, RUU Perkelapasawitan tidak memiliki urgensi. Bahkan, RUU ini dinilai cenderung melanggengkan prakÂtik buruk industri dan perkebuÂnan sawit yang terbukti merusak lingkungan dan menyebabkan konflik.
"RUU ini berpotensi tumpangtindih dengan peraturan yang sudah ada, antara lain UU Perkebunan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani," kata Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan WALHI, Even Sembiring, di Jakarta.
Dia menuturkan, pihaknya telah melakukan analisis komprehensif terhadap RUU Perkelapasawitan yang tengah digodok di DPR, baik secara filosofis, maupun pasal per pasal. Bahkan, kata Even, teradapat pasal-pasal yang berbahaya.
"RUU ini tidak mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian perkara kedua undang-undang tersebut sehingga berpotensi melanggar hak asasi petani yang dilindungi oleh konstitusi," ujarya.
Berdasarkan kajian WALHI, RUU Perkelapasawitan hanya menjadi alat untuk melegalkan kejahatan yang selama berpuluh-puluh tahun telah dijalankan unÂtuk melanggengkan bisnis sawit. Even menilai, DPR mengabaikan fakta bahwa selama ini perkebunan sawit telah melahirÂkan berbagai krisis, baik krisis lingkungan hidup maupun krisis kemanusiaan di satu sisi.
Di sisi yang lain, klaim sebagai komoditas yang menyumbang devisa negara dan mensejahteraÂkan rakyat, hanya isapan jempol. Faktanya, kerugian negara justru begitu besar dari buruknya prakÂtik bisnis yang dijalankan oleh perkebunan sawit, dan ketika terjadi krisis, mereka mengaÂlihkan krisis tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dan kembali dibebankan kepada rakyat.
"Di tengah fakta ini, negara justru terus menerus mensubsidi perusahaan-perusahaan besar," ungkapnya.
Berdasarkan hasil kajian Kajian Sistem Tata Kelola Komoditas Kelapa Sawit oleh Direktorat Penelitian Pengembangan Kedeputian Pencegahan KPK, struktur penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit terbeÂsar perusahaan swasta dengan luas penguasaan mencapai 10,7 juta hektare.
Empat provinsi dengan jumlah perkebunan kelapa sawit terbeÂsar antara lain; Riau mencapai 2,4 juta hektare. Kalimantan Tengah seluas 2,4 juta hektare, Kalimantan Timur seluas 2,1 juta hektare dan Kalimantan Barat seluas 1,6 juta hektare.
"Dari total luasan lahan perkeÂbunan yang dikuasai oleh peÂrusahaan swasta 43,9 persen dikuasai oleh 53 grup perusaÂhaan," sebut Even.
Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI, Khalisah Khalid mengatakan, di tahun politik, dimana tekanan parÂtai politik begitu besar jelang Pilkada serentak dan pemilihan Presiden 2019, pihaknya khaÂwatir RUU Perkelapasawitan akan dijadikan sebagai transaksi politik untuk mengebut pemÂbahasan dan pengesahan RUU tersebut.
"Terlebih kita tahu, RUU ini jelas bertentangan dengan rencana Presiden Jokowi menÂgeluarkan Inpres moratorium sawit yang telah digagas sejak tahun 2016 lalu," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo mengatakan, DPRmasih menganggap melindÂungi sawit adalah hal sangat penting, sehingga perlu memÂbuat undang-undang mengenai perkelapasawitan.
"Sawit telah memberi konÂtribusi penerimaan paling beÂsar terhadap perekonomian Indonesia, bahkan juga mengaÂtasi persoalan kesenjangan Jawa dan luar Jawa. Karena itu, kami kembali memasukkannya dalam Prolegnas 2018. Industri hulu-hilir sawit butuh regulasi khusus yang bisa memberikan kepastian hukum," terangnya.
Untuk diketahui, RUU Perkelapasawitan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2018. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.