Direktur Eksekutif
Human Rights Working Group (HRWG), Muhammad Hafiz mengatakan, hingga kini, pemerintah beÂlum menerbitkan peraturan yang menjamin perlindungan bagi kelompok masyarakat adat yang mengandalkan kehidupanÂnya dari hasil hutan. "Tidak adanya jaminan atas tanah bagi masyarakat adat, merupakan pelanggaran serius hak panganbagi mereka," katanya.
HRWG mengapresiasi pemerintah yang telah mengundang pelapor khusus PBB untuk hak atas pangan ke Indonesia. Kunjungan resmi ini bertujuan melakukan pemantauan dan pelaporan situasi hak atas pangandi Indonesia. HRWG juga mengapresiasi pemerintah yang telah membuka dialog dan menÂjamin diskusi konstruktif antara masyarakat sipil dan pelapor khusus di sela-sela kunjungannya.
Di sisi yang lain, di tengahkunjungan yang seharusnya berÂtujuan meningkatkan pemenuhan dan perlindungan hak pangan setiap orang di Indonesia, Hafiz menyesalkan adanya keputusan pemerintah, yang menganggap peraturan jaminan hak masyarakat adat belum signifikan dibahas dan diundangkan.
Melalui surat nomor 189/2257/SJ 11 April 2018 tentang Penyampaian DIM RUU Masyarakat Hukum Adat yang diÂtujukan kepada Menteri Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri menyampaikan, RUU ini belum merupakan kebutuhan konkrit yang dikhawatirkan memunculÂkan permasalahan baru.
Pada prakteknya, sebagaimaÂna diketahui, tanah, termasuk di dalamnya hutan, merupaÂkan sumber kehidupan bagi masyarakat adat. "Dari hutan, masyarakat adat mencari maÂkanan sehari-hari. Jika mereka tidak dijamin atas apa yang mereka miliki, itu sama dengan melanggar hak panganmereka yang masih mengandalkan hutan sebagai sumber penghidupan," terang Hafiz.
Tidak adanya jaminan tanah bagi masyarakat adat, lanjutÂnya, membuat mereka rentan terhadap perampasan lahan, terutama oleh korporasi atau perusahaan. Situasi ini yang keÂmudian dialami sebagian besar masyarakat adat di Indonesia.
"Seharusnya, Pemerintah menjadikan masalah ini sebagai hal mendesak, dan segera memÂbuat peraturan yang memadai. Apalagi, pemerintahan Joko Widodo sudah memberi janji manis untuk mengakui hak-hak masyarakat adat beberapa waktu lalu," tambahnya.
Terkait momentum kunjunganpelapor khusus PBB tersebut, HRWG meminta Kementerian Dalam Negeri kembali mempertimbangkan urgensi pengundangan RUU Masyarakat Hukum Adat tersebut.
"Setidaknya, pemerintah harus memetakan permasalahan utama masyarakat adat selama ini. Terutama terkait hak tanah dan hutan, agar sumber penghidupan mereka terpenuhi dan dijamin negara," tandas Hafiz.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri telah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat ke Sekretariat Negara. Laporan tersebut diserahkan demi memÂpercepat rancangan undang-unÂdang hukum adat.
"Kemendagri, yakni Dirjen Bina Desa membahasnya denganenam kementerian/lemÂbaga terkait. Hasilnya kemarin diserahkan ke Mensesneg daÂlam kapasitas rumusan awal," ujar Sekjen Kemendagri Hadi Prabowo.
Menurutnya, laporan yang diserahkan ke Setneg tersebut masih sebatas laporan dan beÂlum berupa keputusan. Namun Kemendagri memastikan RUU Masyarakat Hukum Adat akan tetap berjalan. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.