Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Catatan Singkat Kecelakaan Kapal Di Danau Toba

Setiap Pelanggaran Berujung Maut

Selasa, 19 Juni 2018, 21:38 WIB
Catatan Singkat Kecelakaan Kapal Di Danau Toba
Ilustrasi/Net
SEBUAH musibah kecelakaan pelayaran  baru saja terjadi, kecelakaan kapal di perairan Danau Toba, Sumatera Utara.  Salah satu kapal yang melayani pelayaran di Danau Toba, kapal KM Sinar Bangun yang berlayar  dari Simanindo Samosir menuju Tigaras Parapat terbalik di perairan Danau Toba, sekitar jam 17.30 pada hari Senin, 18 Juni 2018.

Kapal kayu KM Sinar Bangun  yang bertujuan membawa wisatawan ini mengalami kecelakaan akibat cuaca yang buruk. Saat itu ombak besar dan angin yang sangat kencang.

Diberitakan berbagai media massa hingga saat ini bahwa tim Basarnas masih berjaga dan berusaha  mengevakuasi di Pelabuhan Tigaras Parapat dan Pelabuhan Simanindo Samosir. Kabid Humas Polda Sumut, AKBP Tatan Dirsan Atmaja menegaskan bahwa saat kecelakaan, kapal mengangkut penumpang secara tidak semestinya.

Menurut Tatan Dirsan Atmaja diungkapkan bahwa Kapal tidak ada manifes perjalanannya. Ketiadaan manifes perjalanan KM Sinar Bangun ini menyulitkan mendata berapa penumpang dan korban yang sesungguhnya karena tidak ada data penumpang sebenarnya dari KM Sinar Bangun.

Berbagai berita media massa menginformasikan setidaknya hingga hari ini sudah lima belas orang tewas akibat kecelakaan KM Sinar Bangun. Kecelakaan juga diduga karena kelebihan beban dan penumpangnya.
Menurut informasi yang diberitakan dari pihak berwenang, kecelakaan terjadi ketika kapal penumpang KM Sinar Bangun itu sedang berlayar dari pelabuhan di Kabupatan Simalungun menuju Simanindo, Kabupaten Samosir dengan jumlah penumpang diperkirakan antara 80-100 orang. Kapal Motor (KM) Sinar Bangun tenggelam setelah mengalami kecelakaan sekitar dua kilometer sesudah meninggalkan pelabuhan Tiga Ras, Danau Toba. Kecelakaan diduga terjadi karena angin kencang dan ombak besar akibat cuaca buruk di Danau Toba.

Berdasarkan informasi tersebut dapat dilihat bahwa pengelola kapal, nakhoda kapal dan pengawas pelabuhan setempat telah lalai melakukan pengawasan pelayaran di kawasan Danau Toba. Seperti biasanya, selalu saja kecelakaan kapal, khususnya pelayaran tradisional sering terjadi pada masa liburan dan penumpang banyak ingin berwisata menggunakan kapal.

Kondisi ini menyebabkan pihak pengelola kapal ingin mendapatkan penumpang sebanyak mungkin dan berlebihan agar mendapatkan untung besar. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak pemilik atau pengelola kapal bekerja sama dengan nakhoda, awak kapal dan pengawas pelayaran setempat dengan menggunakan kesempatan tingginya permintaan pengguna atau penumpang kapal.

Kelalaian dan pelanggaran inilah yang menjadi sebab utama kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba. Memang biasanya pelanggaran terhadap peraturan transportasi maka akan  berujung pada kecelakaan maut.
Lemahnya pengawasan memberi peluang, membiarkan terjadinya pelanggaran seperti  kapal KM Sinar Bangun berlayar tanpa manifes perjalanan, ketiadaan pemeriksaan  data penumpang oleh nakhoda, penumpang tidak diberi menggunakan baju keselamatan (life jacket)  dan pelanggaran prosedur pelayaran aman lainnya.

Padahal sejak 3 Januari 2017 lalu Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubla)  A. Tonny Budiono menerbitkan Instruksi No. UM.008/I/II/DJPL-17 tentang Kewajiban Nakhoda dalam Penanganan Penumpang Selama Pelayaran.

Instruksi ini merupakan upaya pemerintah dalam rangka meningkatan keselamatan pelayaran serta memperkuat aturan-aturan keselamatan khususnya yang mengatur tugas dan tanggung jawab serta kewajiban nakhoda yaitu UU 17/2008 tentang Pelayaran dan Peraturan Pemerintah 7/2000 tentang Kepelautan.

Diatur dalam instruksi Dirjen Hubla tersebut bertujuan untuk menegaskan kembali aturan-aturan tentang keselamatan pelayaran yang sudah ada dan untuk mengingatkan UPT Ditjen Hubla agar melaksanakan pengawasan terhadap implementasi dan aturan-aturan keselamatan pelayaran.

Secara tegas dalam instruksi diingatkan kepada para operator dan pengguna jasa agar menaati dan mengimplementasikan aturan-aturan tentang keselamatan pelayaran.

Dalam Instruksi tersebut, Dirjen Hubla juga menginstruksikan kepada seluruh kepala unit pelaksana teknis (UPT) di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk memerintahkan kepada seluruh pemilik perusahaan pelayaran, keagenan dan nakhoda agar sebelum melakukan pelayaran harus melaksanakan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 17/2008.

Misalnya saja diatur dalam instruksi ini, para nakhoda wajib mengecek kesesuaian antara jumlah penumpang dalam manifest dan jumlah penumpang yang ada di atas kapal yang memiliki tiket.

Nakhoda melalui awak kapalnya wajib melakukan pengenalan penggunaan baju pelampung dan menunjukkan jalur keluar darurat (emergency escape), tempat berkumpul (muster station) serta perintah penyelamatan diri kepada penumpang kapal.

Selain itu, awak kapal juga wajib menunjukkan tempat-tempat penyimpanan alat keselamatan kapal dan pengoperasiaanya. Bagi kapal tradisional, penumpang juga wajib memakai jaket atau baju penolong (life jacket).

Biasanya, kapal penumpang tradisional yang melayani di  Danau Toba, penumpangnya diwajibkan menggunakan jaket atau baju penolong (life jacket). Kewajiban penggunaan life jacket selama berlayar sesuai dengan telegram Dirjen Hubla No. 167/PHBL2011 tanggal 21 Oktober 2011 yang menyatakan bahwa untuk kapal penumpang tradisional, setiap pelayar (termasuk penumpang) wajib menggunakan baju penolong (life jacket) selama pelayaran berjalan.

Dalam pelayaran yang  berkeselamatan, seluruh nakhoda menjalankan kewajibannya antara lain, menginformasikan keadaan cuaca perairan sekitar selama pelayaran, perkiraan cuaca, perkiraan waktu tiba, mengarahkan kapalnya untuk berlindung pada tempat perairan yang aman pada saat kondisi cuaca buruk.

Berdasarkan kejadian kecelakaan ini seharusnya pemerintah tetap terus berkonsentrasi melakukan pencarian para korban sesuai informasi yang dilengkapi terus. Pemerintah harus mengevaluasi sistem pengamanan pelayaran di Danau Toba dan memberi sanksi tegas kepada para pihak yang melakukan pelanggaran karena melakukan tanggung jawabnya sesuai otoritasnya.

Sanksi tegas diperlukan dilakukan juga secara transparan sebagai langkah efek jera serta pencegahan pelanggaran di masa mendatang. Perbaikan secara menyeluruh perlu dilakukan pemerintah  kepada lokasi-lokasi pelabuhan  pelayaran tradisional di seluruh Indonesia.

Perlunya perbaikan ini dikarenakan pelayaran tradisional merupakan alat transportasi yang penting bagi masyarakat Indonesia di daerah atau pun di pedalaman wilayah Indonesia. Adanya perbaikan fasilitas pelayaran tradisional menjadi contoh atau bukti bahwa negara hadir bagi keselamatan rakyatnya. [***]

Azas Tigor Nainggolan
Analis Kebijakan Transportasi dari FAKTA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA