Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gerakan Reformasi Membawa Perubahan Pada MPR

Minggu, 14 Oktober 2018, 10:56 WIB
Gerakan Reformasi Membawa Perubahan Pada MPR
Syamsul Bahri/Humas MPR
rmol news logo Sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR memiliki kewenangan yang mutlak. Salah satu kewenangan yang dimililki itu adalah dapat memberhentikan presiden.

"Tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR," ujar anggota MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Mohammad Toha saat menjadi narasumber Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan metode training of trainer (TOT) bagi kalangan perwira menengah TNI AL, di Surabaya, Jawa Timur.

Proses pemberhentian presiden menurut mantan Wakil Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, itu sekarang tak seperti dahulu. Melewati proses DPR, MK, dan MPR. Prosesnya berbelit dan panjang.

"Sehingga pasca amandemen mustahil untuk bisa memberhentikan presiden," paparnya.

Banyak perubahan dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen. Disebutkan dulu anggota MPR di antaranya terdiri dari utusan daerah dan golongan. Sekarang anggota MPR dipilih oleh rakyat lewat Pemilu yang memilih anggota DPR dan DPD.

"Dengan demikian sekarang MPR lebih mencerminkan kemauan rakyat," ujar alumni UNS, Surakarta, Jawa Tengah, itu.

Lebih lanjut Toha menceritakan, dulu Soeharto bisa menjadi presiden berkali-kali sebab dalam UUD 1945 karena tidak ada batasan. Hal demikian sekarang tak bisa terjadi lagi. "Konstitusi membatasi masa jabatan presiden selama dua kali," terangnya.

Pembatasan ini dilakukan untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter.

Toha menambahkan, perubahan yang terjadi dalam UUD membuat sistem tata negara Indonesia menganut sistem saling mengawasi. "Dari vertikal hierarkis menjadi horizontal fungsional," ujarnya.

Perubahan yang terjadi di MPR dan sistem tata negara lainnya, menurut Toha, karena adanya gerakan reformasi oleh mahasiswa di tahun 1998. Gerakan reformasi itu di antaranya menuntut supremasi hukum dan kebebasan pers.

Anggota Lembaga Kajian MPR, Prof. Syamsul Bahri yang juga menjadi narasumber TOT memperkuat penjelasan Toha. Syamsul menuturkan, perubahan yang terjadi di MPR sebab anggota lembaga negara itu sendiri yang mengamputasi kewenangannya yang dimiliki.

"Sekarang dirasakan adanya amputasi yang tidak tepat sehingga membuat perjalanan bangsa dan negara ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan," jelas Gurubesar Universitas Brawijaya tersebut.

MPR tak lagi memiliki kewenangan untuk membuat haluan negara, GBHN, sehingga pembangunan yang dilakukan mengacu pada visi misi presiden. Dampaknya arah pembangunan tiap kali pergantian presiden.

Syamsul Bahri bersyukur sekarang ada keinginan dari MPR untuk melakukan amandemen yang bertujuan untuk mengembalikan kewenangan MPR membuat GBHN.

"Dalam Sidang Tahunan MPR 2018 sudah diusulkan melakukan amandemen demi haluan negara," ulasnya. Ia optimistis bila ada haluan negara membuat arah pembangunan bangsa ini tak ke mana-mana.

Syamsul pun membandingkan dengan Tiongkok yang merancang pembangunan hingga 150 tahun ke depan. Agar haluan negara itu tak kaku dan bisa menyesuaikan perkembangan zaman, Syamsul mengusulkan agar haluan negara yang ada tidak terlalu teknokratis dan teknis.[wid/***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA