Tuntutan ini dinyatakan tokoh muda kota Lhokseumawe, Muhammad Agung Rezky Afonna. Dia mempertanyakan kesÂimpangsiuran rencana realisasi KEK Arun Lhokseumawe. Terutama dalam penyerapan tenaga kerja.
Menurut Agung, sejak awal persentase pemakaian tenaga kerja lokal harus disepakati, sehÂingga tidak menimbulkan kisruh ke depan. Namun, hingga kini, belum ada kejelasan mengenai hal tersebut.
"Entah bagaimana master plan bisnisnya, regulasinya. Mungkin hanya segelintir orang yang tahu. Padahal KEK Arun berkaitan orang banyak. Seharusnya masyarakat Aceh juga tahu reguÂlasinya secara menyeluruh. Agar masyarakat bisa mempersiapkan diri ikut andil dalam KEK Arun," tutunya.
Lebih lanjut, Pembina Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Lhokseumawe ini menerangkan, banyak pihak asing yang ingin menaruhmodal besar di KEK Arun Lhokseumawe. Namun, jika PT Patriot Nusantara Aceh (PATNA) belum juga mengatur atau mempublikasikan regulasi yang jelas keÂpada masyarakat dan pemodal, ditakutkan KEK Arun tidak berjalan baik.
Apalagi diketahui, isi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2017 tentang KEK Arun juga melemahkan keÂwenangan Pemerintah Aceh. Agung yang juga Plt Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Lhokseumawe itu menyatakan, Pemerintah Aceh hanya memegang saham 25%. Pemerintah Aceh tidak memiliki hak mengelola sendiri sumber dayanya.
"Apakah mungkin KEK Arun Lhokseumawe dapat menseÂjahterakan masyarakat Aceh? Atau hanya menguntungkan segelintir pihak saja?" ujar Agung.
Pengusaha muda Aceh ini mengingatkan, banyak pihak asing yang ingin berinvestasi dengan harapan menuai laba. Di sisi lain, masyarakat lokal juga ingin mengambil peran di KEK Arun untuk mencapai kesejahteraan.
Jika regulasinya tidak jelas dan tidak transparan, atau malah jika diketahui KEK Arun akan mengecewakan masyarakat Aceh, tidak menutup kemungÂkinan akan lahir pemberontakan baru di Aceh untuk menuntut keadilan di KEK Arun. "Bisa jadi nantinya masyarakat Aceh menolak KEK Arun tersebut," ujarnya.
Agung berharap, dikarenakan KEK Arun Lhokseumawe itu juga berkaitan urusan modal yang besar, juga perlu tenaga kerja profesional dan tenaga kerja lokal yang tidak sedikit. Karena itu, owner usaha francise Black Castle ini menegaskan, diperlukan regulasi secara meÂnyuruh untuk mengatur.
"Dibuat tidak untuk menguntungkan pihak-pihak tertenÂtu saja. Sehingga masyarakat Aceh juga menerima KEK Arun Lhokseumawe seperti yang diÂharapkan," katanya.
Agung mengingatkan, peÂmerintah hendaknya menghinÂdari pergolakan dan reaksi dari masyarakat Aceh atas kehadiran KEK Arun Lhokseumawe itu. Karena itu, transparansi dan keterlibatan masyarakat lokal harus diakomodir.
Dia menolak jika jatah tenaga kerja lokal yang akan diserap di KEK itu hanya 300 ribu orang. Kondisi itu pasti akan menimÂbulkan gejolak dan perlawanan dari masyarakat Aceh.
"Daripada nanti menimbulkan gejolak baru, KEK Arun lebih baik ditiadakan saja. Perlu diinÂgatkan, jika yang di-follow up hanya penyerapan tenaga kerja mencapai 30.000 orang, namun regulasi kepastian pemakaian tenaga kerja lokal tidak jelas, buat apa? Bubarkan saja KEK. Masyarakat Aceh sudah lelah berharap," pungkas Agung. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.