Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rasio Pajak 16 Persen, Mungkinkah?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dradjad-h-wibowo-5'>DRADJAD H WIBOWO</a>
OLEH: DRADJAD H WIBOWO
  • Sabtu, 19 Januari 2019, 19:59 WIB
Rasio Pajak 16 Persen, Mungkinkah?
Drajad Wibowo/Net
KEMARIN (18/1), banyak jurnalis yang bertanya kepada saya tentang target rasio pajak 16 persen yang disampaikan Mas Prabowo dalam debat 17 Januari 2019. Mengingat ruang dalam berita online biasanya terbatas, saya tuliskan jawaban saya dalam sebuah artikel yang sedikit lebih panjang.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Walaupun isunya berasal dari debat capres-cawapres, tulisan ini saya siapkan non-politis. Ini karena rasio pajak dan penerimaan negara dalam APBN adalah kepentingan kita semua. Apapun warna politik kita, jika APBN kurang sehat, kita semua dirugikan. Presiden, konglomerat hingga pegawai, buruh tani, pelajar dan mahasiswa, semuanya dirugikan. Jadi isu ini memang kepentingan dan tanggung jawab kita bersama.

Presiden Jokowi melalui Nawacita pernah menargetkan rasio pajak 16 persen dalam masa kepemimpinannya. Ternyata target tersebut sangat sulit dicapai.

Rasio pajak dalam arti sempit, yaitu yang dicapai oleh Ditjen Pajak (DJP), hanya sekitar 8,4 persen pada tahun 2017.  Untuk rasio pajak dalam arti luas, pada akhir pemerintahan pak SBY mencapai 13,7 persen tahun 2015. Di masa pak Jokowi angkanya anjlok terus, menjadi 11,6 persen pada tahun 2015, 10,8 persen pada tahun 2016 dan 10,7 persen pada tahun 2017. Untuk tahun 2018 dan 2019 targetnya adalah 11,6 persen dan 12,1 persen. Kita masih menunggu realisasi 2018 setelah audit.

Sekarang mas Prabowo menargetkan 16 persen juga, untuk rasio pajak dalam arti luas, dalam waktu 5 tahun. Sama dengan pak Jokowi. Apa strateginya agar hal ini bisa dicapai?

Harus diakui, menaikkan rasio pajak itu adalah pekerjaan yang amat sangat berat sekali. Jangankan naik 5 persen, naik 1 persen saja sudah sangat “ngos-ngosan”.  Bahkan untuk mempertahankan rasio pajak saja sudah sulit. Penyebab utamanya adalah karena basis pajak kita masih relatif rendah. Ini antara lain karena kesadaran dan ketaatan pajak yang rendah.

Oleh sebab itu, kita harus berani mengambil langkah terobosan dalam menaikkan basis pajak. Langkah pertama yang bisa ditempuh adalah dengan memanfaatkan Kurva Laffer.

Kurva ini diperkenalkan oleh Arthur B. Laffer, ekonom Amerika Serikat yang pernah menjadi anggota Economic Policy Advisory Board dari Presiden Ronald Reagan. Yang layak dihormati, Laffer secara terbuka mengakui bahwa kurva tersebut antara lain mengambil gagasan dan observasi dari Ibnu Khaldun (1342-1406), seorang pemikir Islam terkenal kelahiran Tunisia.

Gagasan Ibnu Khaldun tersebut tertuang dalam buku Muqoddimah, karya fenomenal yang dipublikasikan pada tahun 1377. Muqoddimah ini memuat berbagai topik, mulai dari ilmu agama Islam, sosiologi, politik hingga ilmu ekonomi, kimia dan biologi.

Di bidang ekonomi, Muqoddimah membahas banyak hal, termasuk pertumbuhan, penawaran permintaan, modal sumber daya manusia, ekonomi tenaga kerja dan pengaruh teknologi. Muqoddimah diakui sebagai versi awal dari mahzab ekonomi Keynesian. Bahkan Supply-Side Economics (SSE) yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Ronald Reagan (1981-1989) juga terinspirasi antara lain oleh Ibnu Khaldun dan Muqoddimah-nya.

Terkait Kurva Laffer, yang menjadi salah satu sumber gagasan Laffer adalah observasi Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah yang menyebutkan “Pada awal dinasti diperoleh penerimaan perpajakan yang besar dari penilaian (tarif/nilai obyek pajak) yang rendah. Pada akhir dinasti, penerimaan perpajakannya rendah, berasal dari tarif yang tinggi”. Ibnu Khaldun juga menyatakan “(tarif) pajak yang tinggi sering menjadi salah satu penyebab ambruknya sebuah kerajaan, karena (tarif) pajak yang tinggi menghasilkan penerimaan (negara) yang lebih rendah”.

Dalam Kurva Laffer, penerimaan pajak adalah 0 pada saat tarif 0 persen, lalu naik menuju penerimaan pajak maksimum pada tarif optimal tertentu, kemudian turun lagi menuju 0 pada tarif 100 persen. Secara visual, Kurva Laffer digambarkan sebagai sebuah lonceng terbalik. Loncengnya tidak simetris, meski bisa saja pada kasus tertentu loncengnya simetris. Puncak lonceng dicapai pada saat tarif pajak optimal.

Berapakah tarif pajak yang optimal itu? Setiap negara tentu berbeda-beda. Bahkan di dalam satu negara, tingkat optimal tersebut bisa berubah antar kurun waktu yang berbeda.

Bukti empiris tentang Kurva Laffer memang masih diperdebatkan. Yang dipakai Laffer sebagai bukti adalah pajak di Rusia, negara-negara Baltik dan pajak dalam beberapa periode di Amerika Serikat. Tapi argumen yang tidak setuju dengan Kurva Laffer juga cukup kuat, terutama dari mereka yang anti terhadap SSE-nya Presiden Reagan. Laffer memang salah satu tokoh utama SSE. Dia juga menjadi salah satu penasihat ekonomi Donald Trump dalam Pilpres 2016.

Apakah Kurva Laffer bisa menaikkan basis pajak dan rasio pajak di Indonesia. Secara logika, jawabnya bisa. Mengapa?

Pertama, salah satu penyebab dari rendahnya basis pajak adalah karena maraknya profit shifting (pemindahan keuntungan) oleh perusahaan Indonesia ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Mereka membuat perusahaan perdagangan di negara tersebut sehingga bagian terbesar dari keuntungannya berada di sana.

Dengan cara di atas, mayoritas keuntungan mereka akan terkena pajak penghasilan yang rendah. Sementara itu, sebagian kecil keuntungannya tetap ditahan di Indonesia dan terkena tarif PPh yang lebih tinggi. Hasilnya, dia bisa menghemat pajak yang cukup besar

Hitungan sederhananya, katakanlah keuntungan mereka Rp 100. Yang Rp 80 ditempatkan di negara lain, terkena pajak 17 persen atau Rp 13,6. Sisanya yang Rp 20 tetap di Indonesia, kena pajak 25 persen atau Rp 5. Total pajak yang dibayar Rp 18,6. Istilahnya, tarif pajak efektif mereka adalah 18,6 persen.

Jika semua keuntungannya berada di Indonesia, mereka membayar pajak Rp 25. Jika yang ditaruh di Indonesia 50:50, total pajaknya Rp 21. Jadi semakin besar mereka memindahkan keuntungan, semakin besar penghematan pajaknya.

Mungkin kita marah, dan itu wajar. Tapi kita hidup di era globalisasi, terutama keuangan dan teknologi informasi. Banyak perusahaan multinasional yang dituding menghindari pajak, seperti Apple, Google, Amazon, Starbucks dan sebagainya. Konglomerat Indonesia itu sama seperti para multinasional,  memanfaatkan lubang penghindaran pajak.

Karena itu, lubang tersebut harus ditutup semaksimal mungkin. Salah satunya adalah dengan membuat tarif pajak Indonesia kompetitif, sehingga perusahaan rugi jika melakukan profit shifting. Ini karena, biaya transaksi, administrasi, kepatuhan dan lain-lain menjadi terlalu mahal dibandingkan dengan pajak yang dihemat. Hasilnya, porsi keuntungan yang ditahan di Indonesia menjadi lebih besar, sehingga basis pajak pun membesar.

Kedua, tarif yang terlalu tinggi membuat wajib pajak lebih senang ber-KKN dengan aparat pajak maupun hakim pengadilan pajak. Biaya menyogok mereka jauh lebih murah dibanding membayar pajak dengan benar. Jika tarifnya turun, buat apa menyogok lagi?

Ketiga, dengan tarif yang rendah, kampanye kesadaran pajak bisa lebih efektif. Demikian juga dengan penegakan aturan perpajakan. Mereka yang mampu tapi malas membayar pajak akan malu dengan kampanye itu. Sudah tarifnya rendah, koq masih ngemplang. Berarti anda memang kebangetan. Negara pun mempunyai posisi psikologis yang lebih kuat untuk menegakkan aturan perpajakan, mulai dari intelijen pajak, pemeriksaan hingga tindakan hukum.

Keempat, tarif pajak kita memang relatif kurang kompetitif, termasuk dibandingkan negara tetangga kita. Mereka tarifnya lebih rendah tapi rasio pajaknya lebih besar dari kita.

Kelima, penurunan ke tarif optimal tertentu diharapkan dapat memicu pertumbuhan menjadi 6 persen atau malah lebih. Jadi kue yang bisa dipajaki melalui PPh, PPN, pajak perdagangan, PBB, bea dan cukai akan membesar jauh lebih cepat.

Itu alasan logisnya. Tentu tidak cukup kalau kita hanya mengandalkan Kurva Laffer saja. Banyak pekerjaan rumah yang harus digarap serius.

Contohnya, kita perlu menerapkan teknologi informasi secara masif di seluruh Indonesia. Ini agar lubang PPh dan PPN bisa dikurangi. Penerimaan PPN misalnya, masih terlalu rendah karena banyak transaksi ekonomi yang tidak masuk ke dalam sistem perpajakan. Belum maksimalnya pemakaian teknologi informasi adalah salah satu penyebabnya.

Kita juga perlu penegakan hukum yang tegas, termasuk terhadap kasus pajak yang sudah inkracht. Karena, terdapat tagihan puluhan triliun dalam kasus-kasus ini. Kita perlu menyederhanakan ketentuan umum dan prosedur perpajakan, agar masyarakat nyaman masuk ke dalam sistem pajak. Perlu penguatan SDM pajak dan pengawasan internal, sehingga intelijen dan pemeriksaan pajak bisa lebih efektif. Perlu perlindungan fisik terhadap aparat pajak di daerah yang rawan. Perlu lebih mengefektifkan obyek pajak, baik dalam PPh, PPN maupun PBB. 

Banyak sekali memang pekerjaan rumahnya. Tapi itu semua harus dilakukan, jika ingin APBN lebih kokoh karena ditopang oleh rasio pajak yang meningkat. [***]

Penulis adalah anggota Dewan Kehormatan PAN

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA